Ketika Zawawi Imron Melawat ke Barat

Ketika Zawawi Imron Melawat ke Barat

MALANG, Suara Muhammadiyah–Kajian multidisipliner bulanan Universitas Muhammadiyah Malang (UMM) Gazebo Forum kembali diadakan, Rabu (26/10). Tak kalah menarik dengan gelaran sebelumnya, kali ini UMM Gazebo Forum menghadirkan penyair kenamaan Indonesia D. Zawawi Imron yang disandingkan dengan Kepala Pusat Studi Islam dan Filsafat (PSIF) UMM, Pradana Boy ZTF, serta pakar antropologi budaya UMM Arif Budi Wurianto.

Diskusi publik kali ini mengulas salah satu buah karya D. Zawawi Imron berjudul‘Refrein di Sudut Dam’ yang diterbitkan oleh UMM Press. Buku berisikan 99 sajak tersebut ditulisnya Zawawi saat ia diundang membaca puisi dalam festival Winternachtem, festival internasional sastra dan seni musim dingin yang bertempat di Den Haag, Belanda.

Zawawi memulai diskusinya dengan membacakan sejumlah sajak terkenalnya. Salah satunya sajak ‘Ibu’. Meski tak lagi muda, pria kelahiran  Batang-Batang Laok, Kabupaten Sumenep, Jawa Timur ini masih tegas dan bertenaga. Penampilannya tak pelak mengundang riuh tepuk tangan peserta yang terdiri dari sejumlah kalangan, antara lain mahasiswa, akademisi juga sastrawan lokal.

Menurutnya, sebuah puisi akan indah jika berangkat dari hati yang murni. Hal tersebut yang kemudian Zawawi sebut sebagai ‘Rasa Sastra’. Layaknya sebuah senyuman, puisi harus juga berangkat dari kemurnian hati penulisnya.

“Puisi yang berasal dari hati yang bersih, insya Allah tanpa direkayasa pun akan bisa dinikmati oleh orang lain. Berbeda dengan puisi yang sudah dimaksud untuk mendapat keuntungan material, atau mendukung salah satu kelompok, atau mencaci salah satu kelompok. Maka muatan-muatannya bisa mungkin akan mengotori nilai puisi itu sendiri,” tutur pria yang kerap menerima berbagai penghargaan dalam dan luar negeri.

Seorang pujangga Pakistan yang hidup sezaman dengan KH. Agus Salim sekitar 1870an, sebut Zawawi, dalam puisinya yang berjudul ‘Apa Katanya’ pun pernah menulis, ‘Dari mana kemerduan seruling terdengar, dari getar hati sang peniup. Bukan dari potongan bambu’.

Dengan mengutip salah satu sajak yang jadi bahan penelitiannya, Zawawi kembali bersyair, ‘Bertuturlah kamu dengan hati yang jernih, maka kebaikan akan menyelimuti hatimu’.

Kepala PSIF Pradana Boy ZTF  yang diminta UMM Press membubuhkan kata pengantar di buku terbitan UMM Press ini. Kebetulan, pada akhir Mei 2016 Pradana berkesempatan berkunjung ke Amsterdam dan bertekad menyelesaikan permintaan tersebut di mana sajak-sajak tersebut ditulis.

Pradana memiliki perspektif lain dalam membaca buku bersampul hitam ini.  Sebagai seorang pakar sosiologi agama, Pradana tidak memposisikan diri sebagai kritikus sastra. Baginya, pendekatan yang harus dilakukan untuk memahami buku ini yakni melalui pendekatan sosiologi pengetahuan.

“Sosiologi pengetahuan berbicara tentang apa yang ada di sebalik tulisan, dan apa yang hendak disampaikan puisi-puisi ini kepada khalayak. Karena karya puisi bukan menggunakan bahasa yang lugas, sehingga perlu ditafsirkan,” paparnya.

Sementara itu, Arif Budi Wurianto memberi judul puisi-puisi D. Zawawi Imron dengan judul ‘D. Zawawi Imron Melawat ke Barat’. “Ketika ia bercerita tentang Eropa, Pak Zawawi Imron tidak sekalipun tergugah akan keindahan dan kehebatan Belanda. Berarti pak Zawawi Imron itu seorang yang benar-benar post-kolonialis, seorang yang benar-benar anti orientalis. Hal ini bisa dilihat saat interaksinya dengan orang-orang barat yang ditulisnya dalam sejumlah puisi di buku ini,” ulas Arif.

Dalam ulasan lanjutannya, menurut Arif, sebenarnya Zawawi ingin memberontak kepada negeri yang selama 350 tahun menjajah Indonesia. “Meski demikian, kemarahan-kemarahan Zawawi Imron dapat ditulisnya dengan sangat lembut dan indah dalam setiap laporan-laporannya (puisi-puisinya, red.) ke luar negeri,” paparnya  (Humas UMM).

 

Exit mobile version