YOGYAKARTA, Suara Muhammadiyah–Manusia lahir dan tumbuh berkembang sebagai zeit geist, sebagai anak zaman. Cara hidupnya seseorang atau sekelompok orang tak bisa lepas dari konteks sosial dan budaya yang mengitarinya. Termasuk halnya sebuah organisasi. Sepanjang usianya terpengaruh erat dalam proses historis. Muhammadiyah sebagai organisasi tumbuh dalam konteks Keraton Yogyakarta, sebagai pusat kejawen ketika itu.
Menurut Ahmad Najib Burhani, unsur kejawaan Muhammadiyah dapat dilihat dalam beberapa hal. Dari segi keanggotaan, pakaian, hingga penggunaan bahasa. “Elemen kejawaan Muhammadiyah tidak bisa dihilangkan. Jika kita lihat foto-foto Muhammadiyah awal, yang melakukan arabisasi adalah organisasi di luar Muhammadiyah. Para tokoh Muhammadiyah awal justru menggunakan pakaian khas Jawa,” ujar Najib dalam acara Kajian Malam Sabtu (Kamastu) AMM DIY, di gedung PWM DIY, Jumat (29/10).
Dari segi keanggotaan, para pimpinan dan anggota Muhammadiyah awal kebanyakan merupakan juga anggota dari Budi Utomo. Budi Utomo dikenal sebagai organisasi yang berusaha membangkitkan kembali budaya Jawa. “Kyai Ahmad Dahlan sampai meninggal selain sebagai ketua Muhammadiyah juga sebagai anggota Budi Utomo. Bahkan kongres Budi Utomo pernah digelar di rumah Kyai Ahmad Dahlan pada tahun 1916 atau 1917,” tutur Najib.
Dalam hal penggunaan bahasa, sebelum pelaksanaan Sumpah Pemuda yang dianggap sebagai titik awal penggunaan bahasa Indonesia, Muhammadiyah melalui Suara Muhammadiyah sudah terlebih dahulu menggunakan bahasa Indonesia. Sebelumnya, Muhammadiyah menggunakan bahasa Jawa sebagai bahasa resmi semua urusan keorganisasian. Bahkan Muhammadiyah juga mempelopori penggunaan bahasa Jawa dalam penyampaian khutbah, yang awalnya menggunakan bahasa Arab.
Muhammadiyah, sebut Najib merupakan organisasi yang mampu bertahan lebih dari seratus tahun karena mempunyai nilai-nilai budaya tertentu, yang bisa ditawarkan kepada pihak luar. Nilai-nilai unggul Muhammadiyah di antaranya adalah sikap egalitarianisme, disiplin, kolektif kolegial. “Siapapun bisa menjadi pimpinan di Muhammadiyah. Dalam budaya Muhammadiyah juga tidak ada ketergantungan pada satu pimpinan tertentu,” tutur Najib.
Najib Burhani menyebut bahwa anggapan yang menyatakan Muhammadiyah tidak merepresentasikan keindonesiaan atau kekhasan Nusantara tidaklah benar. Justru, Muhammadiyah memiliki banyak bukti untuk bisa disebut sebagai representasi dari keindonesiaan. Terutama dari segi sebaran dan konstribusinya di seluruh pelosok negeri. “Dari segi persebarannya, Muhammadiyah itu representasi paling otentik dari Islam di Indonesia,” kata wakil ketua MPI PP Muhammadiyah itu (Ribas).