YOGYAKARTA, Suara Muhammadiyah— Sejak awal, Muhamadiyah tidaklah monolitik. Entitas dan ekspresinya sangat beragam. Sehingga para peneliti memiliki banyak sebutan tentang gerakan dakwah amar makruf nahi mungkar ini. Di antara identitas yang sering dilekatkan semisal Islam Modernis, Islam Murni, Islam Reformis, Islam Puritan, Islam Progresif, Islam Moderat, hingga Wahabi. Bahkan tidak hanya itu, Muhammadiyah juga memiliki karakteristik yang unik dengan adanya Marmud (Marhenis-Muhammadiyah), MUNU (Muhammadiyah-NU), hingga Krismuha (Kristen-Muhammadiyah).
Salah satu peneliti Muhammadiyah, Ahmad Najib Burhani menyatakan bahwa keragaman sebutan Muhammadiyah itu berangkat dari fakta historis, ideologis, dan sosiologis. Sebagai konsekuensi dari Islam yang berkemajuan atau kosmopolitan, Muhammadiyah menjadi organisasi yang terbuka bagi siapa saja. Mulai dari yang berideologi agak salafi hingga yang berideologi progresif. Lalu mereka masuk dalam arus besar dan ikut memberi warna bagi Muhammadiyah dengan tetap mengedepankan sikap terbuka.
Para anggota yang masuk Muhammadiyah dengan ideologi yang beragam ini dipersilahkan untuk berdialog dan berdialektika serta berdiskusi dan berdebat di dalam organisasi. “Dikarenakan secara ideologis berbeda, maka secara sosiologis dan karakter juga berbeda,” kata Najib dalam bedah buku di acara Kajian Malam Sabtu (Kamastu) yang diadakan oleh Angkatan Muda Muhammadiyah (AMM) DIY di gedung PWM DIY, Jumat (28/10).
Sebagai gerakan kosmopolitan yang terbuka dan siap bekerjasama dengan siapa saja, Muhammadiyah tidak lagi telalu mempermasalahkan identitas. Namun lebih kepada konstribusi yang bisa diberikan tanpa memandang perbedaan latar belakang. Keterbukaan ini sejak awal telah menjadi ciri Muhammadiyah. Muhammadiyah awal juga menjadi penerima kelompok Islam minoritas semisal Ahmadiyah, yang diundang untuk menyampaikan pemikirannya.
Muhammadiyah awal, tutur Najib, melakukan modernisasi dan rasionalisasi cara berpikir masyarakat melalui kegiatan pendidikan (schooling), kesehatan (healing), dan santunan (feeding). Dari yang awalnya berobat ke dukun beralih ke dokter. Muhammadiyah juga memotong biaya-biaya resepsi kematian yang berlebihan. Uangnya dialihkan untuk organisasi dan sebagian digunakan untuk mengurus kematian.
Menurut Najib, Muhammadiyah dalam hal ini memiliki kesamaan dengan gerakan calvinis di Amerika. Karena ada beberapa kesamaan ini pula, Muhammadiyah juga disebut sebagai gerakan Islam Puritan dalam artian positif, sebagaimana calvinis dan protestan. “Puritan itu berorientasi sukses dunia akhirat. Semangat kerja keras. Dalam praktik calvinis protestan, kekayaan tidak ditunjukkan dengan penampilan, tapi dilihat dari banyaknya uang di bank. Dalam semangat calvinis, menumpuk harta menjadi kaya adalah bukti rahmat Tuhan,” kata Najib.
Semangat calvinis Muhammadiyah direfleksikan dengan memperkaya organisasi. “Hidupnya sederhana tetapi organisasinya yang kaya,” tutur penulis buku Muhammadiyah Jawa itu. Muhammadiyah memahami konsep kesalehan kepada Tuhan dibuktikan dengan berbuat kepada sesama, tidak hanya berwacana, namun melakukan aksi nyata (Ribas).