Diundang ke Istana, Inilah Hasil Pertemuan Presiden Jokowi dengan Muhammadiyah, MUI dan NU

Diundang ke Istana, Inilah Hasil Pertemuan Presiden Jokowi dengan Muhammadiyah, MUI dan NU

JAKARTA, Suara Muhammadiyah–Presiden Joko Widodo mengundang sejumlah pimpinan organisasi Islam ke Istana Merdeka, Selasa, 1 November 2016. Mereka adalah Muhammadiyah, Nadhlatul Ulama (NU) dan Majelis Ulama lndonesia (MUI). Presiden Jokowi berharap agar para tokoh agama dapat menciptakan kesejukan dan menyebarkan pesan damai agama.

Ketua Umum PP Muhamadiyah Haedar Nashir, menyambut baik langkah akomodatif yang ditempuh Presiden Jokowi dalam rangka memecahkan suatu masalah bangsa. Haedar menegaskan bahwa Muhammadiyah siap untuk turut memberikan pandangan dan solusi bagi penyelesaian permasalahan bangsa, demi mencapai kemajuan bersama.

“Kita berharap bahwa keadaan kehidupan kebangsaan kita berjalan dengan suasana damai, demokratis dan tidak menimbulkan kerugian buat seluruh kehidupan bangsa,” kata Haedar di istana negara.

Haedar membeberkan bahwa para wakil umat ini (Muhammadiyah, MUI dan NU) menyampaikan, bahwa sebagai negara hukum, permasalahan apapun harus mengedepankan proses hukum yang objektif. “Pertama adalah sengketa menyangkut Pak Gubernur DKI berkaitan dengan al-Maidah 51 ini, tidak ada jalan lain selain melalui proses hukum. Hukumlah yang akan menjadi titik objektif dan professional, serta yang juga akan membuat orang bersengketa secara elegan,” ujarnya seusai bertemu Presiden Jokowi.

Kasus ini, kata Haedar sama sekali tidak ada hubungannya dengan politik apalagi SARA. Kalaupun ada orang yang menarik ke wilayah politik dan SARA itu akan bisa diatasi oleh proses hukum. Haedar mengapresiasi sikap Jokowi yang menyatakan bahwa Presiden tidak akan melakukan intervensi. Menkopolhukam Wiranto juga dengan tegas menyatakan bahwa proses hukum saat ini sedang berlangsung.

Terlepas dari itu, Haedar meminta siapapun bisa menyikapi kasus ini dengan bijak, sehingga tidak membuang energyke hal yang tidak produktif. “Kita tidak membuang energy yang tumpah kemana-mana. Sehingga kita bisa berdemokrasi dengan rileks, tanpa tarik-ulur. Ya ada kepentingan politik itu biasa di mana-mana,” katanya.

Terpenting dari kasus ini, kata Haedar adalah terkait dengan pembelajaran bersama. “Sekarang dan kedepan kita belajar dari pengalaman ini tentang perlunya membangun culture atau budaya hukum, budaya politik, bahkan budaya social kemasyarakatan kita agar ada dimensi etika public yang kita kedepankan bersama,” tutur Haedar.

“Muhammadiyah menyambut baik, dalam membangun culture itu, bagaimana para pejabat public, dari pusat sampai daerah itu mengedepankan  apa yang dalam tradisi nasional disebut keteladanan. Keteladanan juga menjadi bagian dari nawacita presiden,” tambahnya.

Pembelajaran yang dimaksud Haedar salah satunya terkait dengan perlunya para pejabat public menjaga sikap dan perkataan sebagai public figure. “Karena itu belajarlah dari pengalaman ini. Tentang perlunya para pejabat public, tentu termasuk juga para tokoh agama, untuk merawat kata. Karena dari kata itulah sering ada bencana,” kata Haedar (Ribas).

Exit mobile version