YOGYAKARTA, Suara Muhammadiyah–Pasca reformasi, peranan gerakan mahasiswa menjadi tidak produktif. Tak punya taji dan tak banyak memberi konstribusi. Tuntutan reformasi tak kunjung terpenuhi. Permasalahan korupsi, kemiskinan, kesenjangan, inflasi, hingga persoalan neokapitalisme dan liberalisme sistem ekonomi. Gerakan mahasiswa dianggap tak mampu lagi untuk menjadi garda terdepan menuntaskan beragam persoalan pelik negeri ini. Bahkan, mereka dikesankan hanya menjadi kepanjangan tangan para seniornya, yang kini duduk dalam lingkaran kekuasaan.
Fakta itu mendorong Jaringan Pemuda Nusantara (JPN) menggelar Dialog Gerakan Mahasiswa Islam Daerah Istimewa Yogyakarta. Acara yang mengusung tema “Format Gerakan Mahasiswa Islam Pasca Reformasi” itu digelar di Teatrikal Perpustakaan UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta, Jumat, 4 November 2016.
Sebagai pembicara, hadir dalam kegiatan itu ketua Cabang PMII DIY, ketua cabang IMM Sleman, ketua HMI kota Yogyakarta, ketua daerah KAMMI kota Yogyakarta dan ketua komisariat GEMA Pembebasan. “PMII, HMI, IMM, GEMA Pembebasan, KAMMI, mari kita berjabatan tangan menghadapi musuh bersama,” ujar Kahfi selaku ketua panitia.
Kahfi mengajak para gerakan mahasiswa muslim ini untuk mencari format baru gerakan mahasiswa. Sehingga bisa menjawab persoalan bangsa kekinian. Ia berharap forum bersama ini bisa dilakukan secara berkelanjutan guna mengkontekstualkan gerakan mahasiswa, untuk menjawab pertanyaan, “Apakah gerakan extraparlementer masih cocok sekarang?”
Hal yang sama diungkapkan ketua Jaringan Pemuda Nusantara, Abu Laka. Menurutnya, forum ini merupakan kelanjutan dari konsolidasi yang sudah berlangsung selama dua bulan lebih. “Karena sekedar acara seminar formal, tidak banyak efeknya. Kehidupan kita hari ini bukan jawaban dari apa yang diperjuangkan aktifis 98,” katanya.
“Kegiatan ini harus dimaknai sebagai suatu peristiwa sejarah dalam mewujudkan persatuan gerakan mahasiswa Islam. Kalau masih berbicara bendera (organisasi masing-masing), jangan berbicara hal-hal yang lebih besar. Jangan bicara persoalan bangsa,” titahnya. Abu Laka mengingatkan supaya kegiatan ini tidak berhenti sebagai seremonial belaka yang tanpa makna.
Dalam kesempatan diskusi, ketua HMI menyatakan bahwa pasca reformasi, para aktivis yang masuk ke lingkaran pemerintahan bukanlah orang baik-baik. Sehingga dimasuki oleh para cukong. Sementara ketua PMII menawarkan cara kompromi dalam menghadapi situasi terkini. Termasuk berkompromi dengan kapitalisme yang sudah merasuk sangat jauh dalam semua sendi-sendi kehidupan berbangsa. Hal berbeda diungkapkan oleh perwakilan IMM, yang menyatakan keberadaan dan gerak langkahnya tidak bisa lepas dari organisasi induk Muhammadiyah (Ribas).