Yunahar menyayangkan jika ada pihak tertentu yang memanfaatkan ayat al-Quran untuk kepentingan politik atau mempolitisasi Tuhan. “Dulu saya tidak mau jawab ketika ditanya tentang boleh atau tidak seorang perempuan menjadi pemimpin. Saya tidak mau menjawab. Karena apapun jawaban saya (bisa atau tidak) akan dimanfaatkan untuk kepentingan politik,” katanya.
Muslim tidak memilih non muslim itu bukan SARA, tapi hak. Sama dengan umat agama lain menyeru umatnya untuk memilih pemimpin yang seagama. “Kalau kita berbicara kitab suci masing-masing, maka itu tidak SARA. Termasuk menyinggung agama lain itu tidak SARA, karena kitab suci,” katanya.
Yunahar mencontohkan bahwa surat al-ikhlas atau ayat al-Quran lainnya menyebut nasrani kafir, itu tidak SARA. Sama saja ketika kitab suci agama lain menyinggung Islam, juga bukan SARA. “Karena kita berbicara agama masing-masing,” tegasnya. Keputusan MUI, kata Yunahar, Ahok itu sudah masuk ke wilayah agama, bukan MUI masuk ke wilayah politik.
Meskipun ketika berbicara kitab suci tidak dianggap SARA, namun dalam hal berbangsa harus selalu menjunjung etika. Ini berbeda masalahnya antara urusan prinsip atau perintah agama dengan etika berbangsa. “Seperti kalimat mari berdoa sesuai dengan agamanya masing-masing. Tidak menyebut, ‘bagi yang kafir silahkan berdoa sesuai dengan kekufurannya’. Ini persoalan etika berbahasa,” kata Yunahar.
Di bagian akhir, Yunahar menjelaskan bahwa umat Islam memiliki kewajiban terhadap al-Quran. Di antaranya adalah: mengimaninya seluruh ayatnya atau 6236 ayat, membacanya meskipun terbata-bata, memahaminya, mengamalkan.
Menurutnya, al-Quran tidak cukup hanya dibaca, namun harus dipahami secara mendalam, lalu kemudian diamalkan. Hal ini telah dicontohkan Kyai Dahlan dalam mengajarkan QS. Al-Ashr dan al-Maun. Kyai Dahlan mengajarkan surat yang sama dalam waktu berbulan-bulan, hingga para santrinya benar-benar mengamalkannya (Ribas).