SEMARANG, Suara Muhammadiyah—Ketua Pimpinan Pusat Muhammadiyah, Prof Yunahar Ilyas menyatakan bahwa umat Islam di Indonesia patut berterima kasih kepada Gubernur DKI Jakarta Basuki Tjahaja Purnama alias Ahok. Sebabnya, perkataan Ahok tentang surat al-Maidah ayat 51, memicu umat Islam untuk mempelajari dan mengkaji kembali tentang ayat tersebut.
Hal itu dikatakan Yunahar dalam pengajian bertema “Ada Apa dengan Surat Al Maidah 51?”, yang digelar oleh PDM Kota Semarang, pada Ahad, 30 Oktober 2016, di masjid At-Taqwa RS Roemani, Semarang. Acara yang turut dihadiri oleh para pejabat pemerintahan itu diselenggarakan dalam rangka hari Ber-Muhammadiyah dan Milad Muhammadiyah ke-104.
“Kita terima kasih kepada Pak Ahok. Karena beliau telah merangsang umat Islam belajar al-Maidah 51. Banyak umat Islam yang tidak tau al-Maidah 51, tapi jadi tau setelah dikutip oleh Pak Ahok. Mudah-mudahan Pak Ahok juga mengutip ayat-ayat yang lain. Apa kita tidak malu, ketika ada orang yang mengutip baru kita mempelajarinya,” sindir Yunahar.
Yunahar menjelaskan bahwa al-Maidah 51 ada kaitannya dengan al-Baqaran 257, yang berbunyi: “Allah pemimpin orang-orang yang beriman; Dia mengeluarkan mereka dari al-zhulumât kepada al-nûr. Dan orang-orang kafir, pemimpin-pemimpin mereka ialah al-thâghût, yang mengeluarkan dari al-nûr kepada al-zhulumât. Mereka itu adalah penghuni neraka; mereka kekal di dalamnya.”
Zulumat menurut Yunahar adalah symbol segala bentuk kekufuran dan kemaksiatan. Dalam kontek sekarang, al-zhulumât bisa berupa isme-isme yang bertentangan dengan Islam semacam al-syuyû’iyah (komunisme), al-ra`sumâliyah (kapitalisme), al-ilhâdiyah, atheisme, al-ibâhiyah (permisivisme).
Di dalam ayat ini, disebutkan al-thâghût dengan lafazh mufrad (tunggal), padahal kalimat sebelumnya adalah al-awliyâ` (pemimpin-pemimpin) dengan lafazh jamak. Ini menunjukkan, meskipun berbeda-beda dan bermacam-macam, para pemimpin orang-orang kafir memiliki satu ciri yang sama, yaitu mengeluarkan mereka dari cahaya kepada kesesatan-kesesatan.
“Ideology apapun jika berhadapan dengan Islam akan bersatu. Nasrani awalnya paling bermusuhan dengan Yahudi karena orang Yahudi membunuh Isa. Namun 1000 tahun kemudian dimaafkan oleh Paus. Mereka bersatu menghadapi Islam,” paparnya.
Yunahar menambahkan bahwa Allah adalah pemimpin yang paling tinggi. Namun Allah tidak turun ke bumi, tapi diwakili oleh rasul, sebagaimana dijelaskan dalam al-Maidah 55: “Sesungguhnya penolongmu hanyalah Allah, Rasul-Nya, dan orang-orang yang beriman, yang melaksanakan shalat dan menunaikan zakat, seraya tunduk (kepada Allah).” Ayat itu menjelaskan hierarki kepemimpinan dalam Islam. Allah, rasul, pemimpin yang beriman.
Sesuai dengan hadis nabi, kata Yunahar, umat Islam tidak pernah bersepakat dalam kesalahan. Oleh karena itu, yang menjadi wali itu umat Islam. “Karena umat Islam banyak, maka harus dipilih dengan prinsip syura. Teknisnya berubah-rubah sesuai dengan zamannya. Bisa penunjukan, pemilihan, demokrasi, dan lain-lain. Substansinya syura,” paparnya.
Sesuai dengan petunjuk al-Maidah:55, ada beberapa syarat kepemimpinan. Syarat pertama, kata Yunahar, pemimpin itu adalah orang beriman atau muslim. Syarat kedua, mendirikan shalat. Syarat ketiga, membayar zakat. Zakat menyimbolkan tiga hal: (1) bersih hatinya dari segi harta tamak dan kikir. (2) Bersih hartanya, track recordnya sumber hartnya baik. (3) Asnaf zakat adalah orang kecil, menyimbolkan pemimpin itu harus pro rakyat kecil atau kaum mustadl’afun.
“Syarat terakhir berdasarkan al-Maidah 55, adalah mereka itu selalu dalam keadaan ruku’. Menyimbolkan ketaatan, totalitas keislamannya,” papar Buya Yunahar Ilyas.
Menurutnya, kata aulia itu jamak dari wali. Wali bisa diartikan pemimpin, teman setia, pelindung, penolong, kekasih. Auliaurrahman itu artinya kekasih Allah. Maknanya tergantung konteksnya. “Jika diartikan teman setia lebih keras dari makna pemimpin. Teman aja gak boleh, apalagi pemimpin. Bahkan gak boleh jadi tim sukses kalau mengartikan dengan teman setia,” ungkapnya.
Yunahar menjelaskan, jika kondisinya berada di negara non-muslim, yang tidak mungkin muslim yang baik dan berintegritas bisa menjadi pimpinan, maka kepemimpinan non-muslim merupakan hal yang wajar. “Kalau di negara non-muslim, seperti di Amerika, calonnya hanya dua, Hillary Clinton dan Donald Trump, maka harus memilih salah satu yang paling maslahah. Di sana, stafnya Obama juga ada yang muslim,” ujarnya.
Yunahar menyayangkan jika ada pihak tertentu yang memanfaatkan ayat al-Quran untuk kepentingan politik atau mempolitisasi Tuhan. “Dulu saya tidak mau jawab ketika ditanya tentang boleh atau tidak seorang perempuan menjadi pemimpin. Saya tidak mau menjawab. Karena apapun jawaban saya (bisa atau tidak) akan dimanfaatkan untuk kepentingan politik,” katanya.
Muslim tidak memilih non muslim itu bukan SARA, tapi hak. Sama dengan umat agama lain menyeru umatnya untuk memilih pemimpin yang seagama. “Kalau kita berbicara kitab suci masing-masing, maka itu tidak SARA. Termasuk menyinggung agama lain itu tidak SARA, karena kitab suci,” katanya.
Yunahar mencontohkan bahwa surat al-ikhlas atau ayat al-Quran lainnya menyebut nasrani kafir, itu tidak SARA. Sama saja ketika kitab suci agama lain menyinggung Islam, juga bukan SARA. “Karena kita berbicara agama masing-masing,” tegasnya. Keputusan MUI, kata Yunahar, Ahok itu sudah masuk ke wilayah agama, bukan MUI masuk ke wilayah politik.
Meskipun ketika berbicara kitab suci tidak dianggap SARA, namun dalam hal berbangsa harus selalu menjunjung etika. Ini berbeda masalahnya antara urusan prinsip atau perintah agama dengan etika berbangsa. “Seperti kalimat mari berdoa sesuai dengan agamanya masing-masing. Tidak menyebut, ‘bagi yang kafir silahkan berdoa sesuai dengan kekufurannya’. Ini persoalan etika berbahasa,” kata Yunahar.
Di bagian akhir, Yunahar menjelaskan bahwa umat Islam memiliki kewajiban terhadap al-Quran. Di antaranya adalah: mengimaninya seluruh ayatnya atau 6236 ayat, membacanya meskipun terbata-bata, memahaminya, mengamalkan.
Menurutnya, al-Quran tidak cukup hanya dibaca, namun harus dipahami secara mendalam, lalu kemudian diamalkan. Hal ini telah dicontohkan Kyai Dahlan dalam mengajarkan QS. Al-Ashr dan al-Maun. Kyai Dahlan mengajarkan surat yang sama dalam waktu berbulan-bulan, hingga para santrinya benar-benar mengamalkannya (Ribas).