Catatan Tentang Resolusi Jihad

Catatan Tentang Resolusi Jihad

Oleh Mu’arif

Dalam tradisi penulisan sejarah, sebuah peristiwa yang diulas berulang-ulang dari berbagai sudut pandang atau disediakan ruang pembahasan melebihi dari peristiwa-peristiwa lain menunjukkan bahwa peristiwa tersebut dinilai sangat penting. Sebaliknya, sebuah peristiwa yang hanya diulas sepintas atau bahkan malah terlewatkan dalam pembahasan menujukkan bahwa peristiwa tersebut dinilai kurang penting. Tetapi apa yang dilakukan oleh pemerintah justru menjadikan peristiwa yang nyaris terlewatkan dalam historiografi Indonesia dianggap “penting”, bahkan mungkin dianggap “sangat penting”, sehingga layak menjadi dasar penetapan sebuah kebijakan nasional. Penetapan Hari Santri (Keputusan Presiden Nomor 22 Tahun 2015) tanggal 22 Oktober atas dasar pertimbangan seruan resolusi jihad pada 22 Oktober 1945 di Surabaya oleh para santri dan ulama pondok pesantren sebenarnya masih debatable. Itu karena peristiwa rapat akbar yang diselenggarakan oleh sekelompok umat Islam pada 21-22 Oktober yang melahirkan seruan resolusi jihad sekitar 71 tahun silam belum menjadi bagian dari narasi besar dalam historiografi Indonesia.

 

Revolusi 10 November

Pekik, “merdeka!” laksana mukjizat yang mampu membangkitkan semangat dan menyatukan kaum muda di seluruh tanah air pasca Proklamasi Kemerdekaan 17 Agustus 1945. Pasukan Jepang memang belum sepenuhnya menyerah. Tetapi kaum muda bertekad menggelar rapat raksasa di lapangan Ikada, Jakarta, pada 11 September, sekalipun masih di bawah pengawasan ketat tentara Jepang. Menyadari posisi Jepang terus melemah, di Bandung Mayor Jenderal Mabuchi (panglima Jepang di Jawa Barat) mengadakan perjanjian penyerahkan kekuasaan dengan R. Puradiredja (Residen Priangan). Apa yang terjadi di Bandung adalah revolusi tanpa pertumpahan darah. Namun sebuah insiden terjadi ketika perjanjian Puradiredja-Mabuchi dilanggar oleh pihak Jepang. Mabuchi berhasil mengelabuhi petinggi KNI Jawa Barat (Oto Iskandardinata), BKR (R. Soehari), dan Kepolisian Karesidenan (R. Jusuf), sehingga pada tanggal 9 Oktober, tentara Jepang melakukan kudeta di Kota Kembang. Pada saat yang bersamaan, Pasukan Sekutu mulai berdatangan di Jawa Barat. Insiden kup oleh tentara Jepang di Bandung dan kehadiran tentara Inggris (Sekutu) di Jawa Barat turut mempengaruhi gerakan-gerakan kaum muda di beberapa kota besar, seperti di Semarang, Solo, dan Yogyakarta.

Pemandangan yang kurang lebih sama terjadi pula di Surabaya, ketika pasukan Sekutu yang datang pertama kali ke kota ini di bawah komando Brigadir Jenderal Mallaby. Tetapi Pasukan Sekutu justru diboncengi oleh NICA (Netherlands-Indies Civil Administration) dari Belanda. Mallaby, menurt Anderson (1988), dianggap tidak memiliki bahan-bahan intelijen yang mendalam seputar peta politik di Surabaya sehingga memicu kesalahan fatal dalam mengambil kebijakan. Kebijakannya menyelamatkan Kapten Huijer menjadi bumerang bagi Pasukan Sekutu karena memicu kemarahan warga Surabaya. Huijer membawa misi tersembunyi ingin mengembalikan dominasi pasukan Belanda atas kota Surabaya dengan mengatasnamakan Pasukan Sekutu. Kapten Huijer telah berhasil memaksa Shibata untuk menyerahkan kekuasaan kepada Pasukan Sekutu. Huijer sendiri melihat Doel Arnowo, ketua KNI Jawa Timur, dan R. Soedirman, Residen Surabaya, dianggap sebagai sosok-sosok yang amat mudah dipengaruhi untuk kerjasama memuluskan kepentingan pasukan Sekutu (Belanda?). Akhirnya, seluruh senjata rampasan dari pasukan Jepang diserahkan kepada Doel Arnowo atas nama KNI. Tetapi, KNI Jawa Timur bukanlah organisasi yang solid. Terbukti, sebagian besar senjata rampasan dari pasukan Jepang justru jatuh ke tangan para anggota BKR, kelompok-kelompok muda revolusioner, dan gerombolan-gerombolan yang tidak terorganisir.

Dalam kondisi seperti inilah, sosok Bung Tomo berhasil tampil dominan. Ia memang termasuk anggota PRI. Tetapi ketika tampil dominan dalam revolusi di Surabaya, Bung Tomo adalah seorang wartawan dalam Kantor Berita Domei. Pada tanggal 12 Oktober, setelah pulang dari Jakarta, Bung Tomo mendirikan stasiun pemancar radio yang disebut “Radio Pemberontakan.” Selang sehari kemudian, Bung Tomo membentuk Barisan Pemberontakan Republik Indonesia (BPRI), yang secara struktural terpisah dari PRI. BPRI inilah yang kebanyakan diisi oleh gerombolan pemuda revolusioner, para jawara, dan kelompok BKR yang kurang solid.

Stasiun pemancar “Radio Pemberontakan” adalah salah satu infrastruktur peninggalan Jepang. Bung Tomo berhasil memanfaatkan stasiun pemancar radio tersebut untuk mengobarkan semangat perlawanan lewat pidato-pidato agitatifnya. Pada zaman pendudukan Jepang, ratusan radio telah dibagi-bagikan kepada beberapa elemen dalam masyarakat di Surabaya, dari kota hingga pelosok desa. Para pejabat pemerintah, priyayi, tokoh organisasi/perkumpulan, dan kyai mendapat jatah gratis masing-masing satu buah radio transistor. Dengan memanfaatkan stasiun radio yang siarannya dapat diakses oleh seluruh lapisan masyarakat di Surabaya, Bung Tomo berhasil memanfaatkan alat komunikasi satu-satunya pada waktu itu yang mempun menjangkau masyarakat luas. Ia mengobarkan semangat perlawanan dengan pekik, “merdeka!” Mengawali pidato, Bung Tomo selalu menyeru, “Allahu Akbar! Allahu Akbar!” sehingga mampu menggugah semangat dari kalangan Muslim, baik di perkotaan maupun di pelosok desa.

Ben Anderson (1988: 182-183) mencatat, pidato agitatif Bung Tomo berhasil menggetarkan hati para pemimpin-pemimpin “merah” dan masyarakat santri di Surabaya, di daerah-daerah daratan dan pantai Jawa Timur, dan di Pulau Madura. Para kyai dan santri yang terpengaruh oleh pidato agitatif Bung Tomo melakukan perjalanan jauh dari pelosok menuju pelabuhan. “Allahu Akbar! Allahu Akbar!” pekik Bung Tomo mengawali pidatonya.

Apa yang menarik dari pidato Bung Tomo, dalam telisik Ben Anderson (1988), adalah daya tarik untuk menyatukan para pemimpin daerah, baik dari kalangan sekuler (kelompok merah) maupun para kyai dari pelosok. Karena mendengar seruan Bung Tomo, mereka bersedia melakukan perjalanan jauh dari pelosok menuju pelabuhan. Pada tanggal 21-22 Oktober, para ulama dan umat Islam menggelar rapat akbar menghasilkan tuntutan-tuntutan yang dalam konteks ini disebut sebagai “resolusi jihad.”

Semula, Pasukan Sekutu yang tiba di Surabaya pada tanggal 25 Oktober bertujuan untuk membebaskan tawanan perang warga Indo-Eropa secepat mungkin. Tetapi respon warga Surabaya sudah menaruh kebencian yang dalam sehingga kedatangan Pasukan Sekutu mendapat perlawanan sengit. Pasukan Sekutu sebanyak 6.000 serdadu (Inggris dan India) mendapat perlawanan dari Tentara Keamanan Rakyat (TKR) sebanyak 10-20 ribu personil yang baru saja dibentuk. Menyadari betapa kuat perlawanan TKR bersama rakyat di Surabaya, bahkan panglima pasukan Inggris (Brigadir Jenderal A.W.S. Mallaby) tewas di tangan pasukan Indonesia, maka pada tanggal 30 Oktober ditetapkan gencatan senjata. Tetapi selama masa gencatan senjata, Pasukan Sekutu justru mendatangkan bala bantuan dan berhasil mengungsikan para tawanan warga Indo-Eropa. Tepat pada Subuh 10 November, pasukan Sekutu melancarkan aksi pembersihan berdarah di seluruh pelosok kota di bawah perlindungan serangan bom dari udara dan laut. Inilah momentum yang mengantarkan Surabaya sebagai “Kota Pahlawan” ketika sekitar 6.000 rakyat Indonesia gugur dalam revolusi 10 November 1945.

 

Resolusi Jihad

Ketika pidato agitatif Bung Tomo berhasil mempengaruhi massa, baik dari kalangan nasionalis (pemimpin-pemimpin “merah”) dan umat Islam, kaum santri di daerah-daerah Jawa Timur dan di Pulau Madura tergerak untuk berkumpul dalam sebuah apel akbar pada 21-22 Oktober di pelabuhan. Ben Anderson (1988: 183) mencatat, pada sekitar tanggal 21-22 Oktober 1945, Nahdlatul Ulama (NU) dari seluruh Jawa dan Madura menggelar rapat menghasilkan tuntutan sebagai berikut: “1. Memohon dengan sangat kepada Pemerintah Republik Indonesia supaya menentukan suatu sikap dan tindakan yang nyata serta sepadan terhadap tiap-tiap usaha yang akan membahayakan agama dan Negara Indonesia, terutama terhadap fihak Belanda dan kaki tangannya. 2. Supaya memerintahkan melanjutkan perjuangan yang bersifat sabilullah untuk tegaknya Negara Republik Indonesia Merdeka dan Agama Islam.” Inilah yang kemudian dikenal dengan istilah “resolusi jihad.” Dalam versi lain—yang muncul belakangan—resolusi jihad adalah fatwa yang dikeluarkan oleh KH Hasyim Asy’ari, Rais Akbar PBNU yang sejak 21-22 Oktober menggelar rapat konsul NU se-Jawa dan Madura (lihat “Detik-detik Resolusi Jihad Nahdlatul Ulama dan Pertempuran 10 November 1945”/www.nu.or.id).

Resolusi jihad itu sendiri sebenarnya didukung oleh beberapa elemen pergerakan karena sebelumnya telah dibentuk Laskar Hizbullah yang terdiri dari beberapa organisasi kepemudaan, seperti Pemuda Anshor dan Hizbul Wathan (HW). Ketika Laskar Hizbullah dibentuk, pada saat yang bersamaan terdapat gerakan-gerakan lain lewat Tentara Keamanan Rakyat (TKR) yang merupakan fusi dari eks tentara PETA, KNIL, Heiho, Kaigun, Barisan Pelopor, dan lain-lain. Terdapat pula gerakan lewat Komite Nasional Indonesia (KNI). Selain KNI dan TKR, organisasi-organisasi aksi berskala lokal berhasil dibentuk pasca Proklamasi Kemerdekaan untuk mengawal jalannya revolusi di Surabaya. Di antaranya adalah organisasi aksi Angkatan Muda dan Pemuda Republik Indonesia (PRI). Artinya, banyak pergerakan revolusioner yang dimotori kaum muda sebagai pemicu Revolusi 10 November di Surabaya.

MC Riklefs (2005) memberikan analisis yang cukup menarik dan berbeda Anderson terkait fakta historis rapat akbar umat Islam pada 21-22 Oktober di Surabaya. Sebenarnya, bukan hanya NU yang menggagas rapat akbar pada 21-22 Oktober tersebut. Ada elemen lain yang turut andil dalam moment akbar tersebut, yaitu Masyumi, Hizbul Wathan, dan lain-lain. Dalam analisis Riklefs, Masyumi dan NU inilah yang berhasil menggerakkan umat Islam di Jawa Timur dan Madura untuk mempertahankan tanah air lewat Perang Sabil (Sabilullah).

 

Narasi Kecil

Seperti yang telah diungkapkan pada awal tulisan ini bahwa dalam tradisi penulisan sejarah, sebuah peristiwa yang diulas berulang-ulang dari berbagai sudut pandang atau disediakan ruang pembahasan melebihi dari peristiwa-peristiwa lain menunjukkan bahwa peristiwa tersebut dinilai sangat penting. Sebaliknya, peristiwa yang hanya diulas sepintas atau bahkan nyaris terlewatkan, adalah peristiwa yang dinilai kurang signifikan. Tetapi apa yang terjadi dengan peristiwa rapat akbar sekelompok umat Islam pada 21-22 Oktober 1945 di Surabaya adalah sebuah penilaian yang dipaksakan. Apalagi, berdasarkan historiografi Indonesia yang ditulis oleh para Indonesianis dan sejarawan masih debatable.

Menanggapi seruan resolusi jihad, beberapa Indonesianis dan sejarawan berbeda dalam menafsiri fakta sejarah yang satu ini. Ben Anderson dalam Revolusi Pemuda (1988) memang menyajikan sepenggal narasi seputar peristiwa rapat akbar umat Islam pada 21-22 Oktober 1945, tetapi peristiwa tidak berdiri sendiri atau menjadi sebab tunggal untuk memicu peristiwa besar setelahnya. Artinya, upaya menempatkan seruan resolusi jihad sebagai satu pemicu lahirnya revolusi 10 November di Surabaya adalah sebuah kecerobohan metolodogis dalam ilmu sejarah.

Dalam Sejarah Indonesia Modern (2005), Riklefs memang memberikan analisis sepintas tetapi berbeda dengan Ben Anderson. Terhadap fakta historis rapat akbar umat Islam pada 21-22 Oktober, Riklefs berpendapat bahwa bukan hanya NU yang menggagas rapat akbar tersebut, tetapi ada elemen-elemen lain yang turut andil dalam moment tersebut, yaitu Masyumi, Hizbul Wathan, dan lain-lain. Dengan demikian, ketika terdapat sekelompok umat Islam yang mengklaim seruan resolusi jihad sebagai inisiatif kelompok ini sendiri, tentu klaim tersebut perlu dibuktikan kembali dengan menyuguhkan data-data historis yang akurat.

Dalam Sejarah Alternatif Indonesia karya Malcolm Cadwell dan Ernest Utrecht (2011), justru momentum rapat akbar tanggal 21-22 Oktober tidak masuk dalam pembahasan buku ini. Justru, Malcolm Cadwell dan Ernest Utrecht menyajikan peran dan ketokohan Bung Tomo sangat dominan dalam peristiwa revolusi 10 November di Surabaya. Tentunya, kedua penulis ini memiliki pertimbangan dan juga penilaian tersendiri terhadap fakta historis yang satu ini. Dan kita semua pun mafhum apakah peristiwa ini masuk dalam kategori peristiwa “penting” atau “tidak penting” sehingga kedua Indonesianis ini tidak menyingguh sedikitpun peristiwa rapat akbar umat Islam pada 21-22 Oktober.

Dalam Pengantar Sejarah Indonesia Baru Jilid 2: Sejarah Pergerakan Nasional karya Sartono Kartodirdjo (2014), narasi dan analisis terhadap peristiwa rapat akbar pada 21-22 Oktober 1945 tidak ditemukan. Padahal, menurut sejarawan Joko Suryo, Sartono Kartodirdjo merupakan sosok ilmuwan yang menggunakan visi baru dalam penulisan sejarah nasional. Tetapi peristiwa rapat akbar pada 21-22 Oktober 1945 yang “dianggap penting” oleh pemerintah dan sekelompok umat Islam justru tidak disinggung sedikitpun. Apakah selama ini bangsa Indonesia telah “dibodohin” oleh para sejarawan, baik dari dalam maupun luar negeri, yang mengabdikan diri untuk penulisan sejarah nasional?

 

Kebijakan Politis

Kebijakan pemerintah yang menjadikan seruan resolusi jihad dalam rapat akbar sekelompok umat Islam pada 21-22 Oktober 1945 sebagai pertimbangan untuk menjadikan tanggal 22 Oktober sebagai Hari Santri patut ditinjau kembali. Sebab, secara subtantif peran rapat akbar umat Islam pada 21-22 Oktober 1945 masih debatable jika dikaitkan dengan peristiwa revolusi 10 November 1945 di Surabaya. Apalagi sampai memposisikan seruan resolusi jihad sebagai sebab tunggal yang memicu revolusi 10 November 1945 adalah sebuah kecerobohan metodologis dalam Ilmu Sejarah. Faktanya, kebijakan Hari Santri diklaim oleh sekelompok umat Islam, padahal seharusnya kebijakan nasional menjadi milik bangsa di atas kepentingan kelompok maupun golongan.

Penggunaan istilah “Hari Santri” sendiri, secara keilmuan, sudah tidak relevan lagi. Sebab, istilah “santri” yang dipopulerkan oleh Clifford Geertz dalam penelitiannya memetakan varian dalam masyarakat menjadi tiga kelompok, yakni “abangan,” “santri,” dan “priyayi,” telah dibantah oleh beberapa ilmuwan mutakhir. Dengan demikian, kebijakan pemerintah (Keputusan Presiden Nomor 22 Tahun 2015) yang menetapkan tanggal 22 Oktober sebagai Hari Santri memang layak ditinjau kembali.

 

*) Jurnalis, pemerhati Sejarah Nasional Indonesia

Exit mobile version