Seiring dengan pernyataan Buya Syafii terkait dengan Ahok, sudah cukup banyak yang menulis sisi pemikiran Buya Syafii dan cenderung arogan dan tanpa sopan santun. Saya hanya coba melihat sisi lain yang melekat pada Buya Syafii: Kesederhanaan. Sengaja saya tak masuk pada wilayah pemikiran pokitik keagamaan Buya. Sederhana saja, dalam hal pemikiran saya sering tak sependapat dengan Buya Syafii, terutama dalam konteks relasi Islam dan Negara. Positioning pemikiran Buya Syafii adalah “tengah-sekular”, untuk menyebut pemikiran yang wasathiyah tapi cenderung ke arah sekular. Sementara saya mencoba memposisikan diri pada posisi “tengah-formalis”, untuk menyebut pemikiran wasathiyah tapi berharap ada aturan-aturan formal keagamaan. Karena negara Pancasila sejatinya tidak dan tak boleh menafikan nilai-nilai agama. Wong Sila Pertamanya saja Ketuhanan Yang Maha Esa.
Dalam konteks kasus Ahok misalnya jelas saya berbeda pendapat dengan Buya Syafii. Buya menyebut tak ada penistaan, tapi saya tegas menyatakan ada unsur yang cukup kuat bahwa Ahok menista al-Qur’an dan para ulama. Saya sangat dan sangat menghargai pemikiran Buya sebagaimana saya menghargai pemikiran Gus Dur. Dan saya sangat yakin pula itu semata pemikiran Buya. Tak ada unsur “pesanan” dan apalagi “pelacuran” diri Buya untuk sekedar mendapatkan pundi-pundi materi, sebagaimana dituduhkan beberapa orang di medsos. Buya bukan tipe agamawan yang suka “jualan” agama untuk kepentingan pribadi. Tak ada dalam rumus hidup Buya kelakuan yang menjijikan itu. Bandingkan dengan tokoh agamawan lain yang karena jabatan keagamaan yang melekat pada dirinya bisa mendatangkan banyak kemewahan duniawi, dengan mobil yang berjejer dan rumah yang megah. Insya Allah Buya bukan tipe agamawan yang punya penyakit WAHN. Buya orang yang sangat sederhana dan berintegritas tinggi.
Kesederhanaan Buya inilah yang saat ini hilang di lingkup sebagian elit agamawan dan terlebih lagi di lingkup elit politik. Terlalu banyak agamawan kita yang sepertinya tanpa malu mempertontonkan kemewahan duniawi, tampilan yang tentu cukup kontras dengan apa yang kerap dipidatokan, diceramahkan, ditausiyahkan, yang kerap tanpa malu bercerita soal kesederhanaan Rasul Muhammad saw, cerita betapa kayanya seorang Utsman bin Affan tetapi ketika menjabat sebagai Khalifah untuk sekadar makan pun diambilkan dari bait al-maal, karena hartanya habis untuk kepentingan dakwah Islam, tapi tak bisa meneladaninya.
Buya berbeda dalam hal kesederhanaan dengan kebanyakan agamawan lainnya. Sebagai mantan Ketua PP Muhammadiyah, Buya tak malu naik bajaj sambil memakai tas rangsel di lengannya. Buya tak gengsi naik mobil Xenia, Buya tak malu memakai baju seharga di bawah Rp. 100 ribu. Baju Buya bukan produk tailor yang biasa jadi langganan para menteri dan anggota DPR.
Kesederhanaan inilah yang hilang dari bangsa ini. Coba perhatikan polah dari kebanyakan para politisi kita yang penampilannya jauh dari kesan sederhana. Politisi-politisi yang dulunya aktivis (Islam) pun gak jauh beda. Bahkan kadang tampilannya lebih norak. Bagaimana tidak norak, biasa hidup miskin, tidurnya di kantor organisasi, makan dari para seniornya, lalu berubah kaya, kan biasanya noraknya keliatan.
Anda semua boleh berbeda pemikiran dengan Buya dan itu sah dan lazim saja, sebagaimana sah dan lazimnya perbedaan pemikiran yang terjadi jelang kemerdekaan. Namun dalam hal kesederhanaan, Buya layak jadi uswah bagi siapapun, bagi kita semua, terutama uswah buat para agamawan dan politisi kita (Status ini ditulis sambil menikmati macetnya Kota Bekasi menuju kampus, sehabis hadiri aqad nikah putra tetangga).