Suara Muhammadiyah,- Dunia terkejut ketika mengetahui Donald Trump, calon presiden Amerika Serikat dari partai Republik memenangi pemilu. Berbagai sikap dan pernyataan kontroversialnya membuat publik banyak berpaling darinya. Hampir semua jajak pendapat kompak meramalkan pesaingnya, Hillary Clinton sebagai pemenang. Bahkan saat penghitungan, perolehan total suara Hillary lebih banyak dibanding Trump.
Lalu bagaimana ia bisa menang? Jawabannya adalah karena suara elektoral.
Hillary meraih total 60.467.601 suara, sementara Trump hanya memperoleh 60.072.551 suara. Trump tertinggal hampir 400 ribu suara. Jika di Indonesia, tentu Hillary lah pemenang nya, namun sistem demokrasi AS berkata lain. Mereka tidak menggunakan demokrasi langsung yang berarti capres dengan suara terbanyak (populer) terpilih menjadi presiden. Sejak dulu AS menggunakan sistem yang disebut electoral college, yakni badan perwakilan yang memilih pemenang.
Bagaimana sistem electoral college bekerja?
Electoral college itu terdiri dari para elector yang berada di setiap negara bagian. Adapun jumlahnya di setiap negara bagian berbeda-beda, tergantung populasi penduduk masing-masing. Misalnya New York yang memiliki 29 electoral votes dan Alaska yang hanya memiliki 3 electoral votes.
Saat ini, ada 538 elector di seluruh negara bagian AS. Calon presiden harus mendapatkan setidaknya 270 electoral votes untuk memenangkan pilpres. Para elector dipilih oleh partai politik di setiap negara bagian. Jadi ketika seseorang mencoblos, sebenarnya yang mereka pilih adalah para elector ini.
Yang perlu digarisbawahi, hampir semua negara bagian (kecuali Maine dan Nebraska) menggunakan prinsip the winners takes all yang artinya pemenang di sebuah negara bagian, berhak mendapatkan semua jumlah elector di negara bagian itu, meski hanya unggul satu suara.
Mengapa harus ada electoral votes?
Sistem electoral college digunakan untuk memberikan keadilan dan pemerataan. Setiap negara bagian di AS berbeda ukuran serta populasi. Jadi dengan adanya sistem ini, diharapkan suara dari negara-negara kecil tidak diabaikan.
Efeknya, dengan sistem ini, situasi langka bisa saja terjadi di mana calon presiden dengan suara populer terbanyak kalah dengan kandidat yang unggul dalam electoral votes. Seperti yang terjadi saat ini, Trump meski kalah dalam suara populer, namun ia bisa meraih 290 electoral votes dan Hillary meski menang dalam suara populer, namun hanya meraih 228 electoral votes.
Sebelumnya juga pernah terjadi di tahun 2000. Saat itu Al Gore yang menang dalam suara populer, kalah dengan George W Bush yang meraup electoral votes lebih banyak.
Mengapa Trump bisa meraih electoral votes lebih banyak?
Yang membuat Trump meraih electoral votes lebih banyak adalah karena kemenangannya di sejumlah swing states,yakni negara yang kemungkinan dimenangkan Demokrat maupun Republik. Trump hanya menang tipis di swing states itu, hanya saja negara-negara itu memiliki electoral votes yang besar, seperti di Florida dengan 29 electoral votes, Ohio 18 suara, dan Pennsylvania 20 suara.
Selain itu, beberapa hal mengejutkan juga terjadi. Florida sebelumnya dua kali dimenangkan Obama, kini direbut Trump. Pennsylvania sejak 1992 selalu dimenangkan oleh Demokrat, namun kini dimenangkan Trump.
Selama kampanye, Clinton tampak mendapat banyak suaradengan didukung mayoritas ras Afrika-Amerika, Latinos, kulit putih berpendidikan tinggi dan mayoritas kaum perempuan. Sebaliknya, tak diduga Trump mendapat dukungan dari mayoritas kulit putih yang tidak pernah kuliah serta berdomisili di daerah pinggiran atau kota kecil. Trump juga mendapat banyak suara dari kelas pekerja (Aziz).