YOGYAKARTA, Suara Muhammadiyah – Melalui pesan berantai, beredar kabar akan adanya aksi parade massa di Jakarta pada Sabtu 19 November 2016 mendatang. Parade itu akan dimulai dari Parkir Timur Senayan hingga Bundaran Hotel Indonesia (HI).
Adapun tuntutan yang diangkat dalam aksi bernama Parade Bhinneka Tunggal Ika itu adalah ‘Merawat Indonesia sebagai Negara Bhinneka Tunggal Ika, Mempertahankan Pemerintah Konstitusional dan Menjalankan Penegakan Hukum yang Berkeadilan’.
Sejumlah tokoh, aktivis, institusi, termasuk ormas Islam dan kalangan artis disebut-sebut turut serta dalam aksi yang menargetkan seratus ribu massa itu. Namun belakangan, sejumlah tokoh, artis dan ormas Islam kemudian membantah mereka terlibat dalam aksi tersebut.
Muhammadiyah, LBH Jakarta, GP Ansor dan sejumlah artis, termasuk yang membantah akan turut dalam aksi itu. Nama mereka hanya dicatut dan tidak melalui surat resmi dalam parade yang dimaksudkan untuk memperkuat NKRI dan merawat kebhinekaan.
Menyikapi hal itu, Ketua Umum PP Muhammadiyah Haedar Nashir mempersilakan kegiatan tersebut digelar. Namun, dirinya mengingatkan bahwa parade yang terkesan sebagai tandingan dari aksi umat Islam pada 4 November lalu itu jangan sampai menimbulkan masalah baru.
“Titik temu dalam mencari solusi sengketa ada di ranah hukum, tidak ada kaitan antara kebhinnekaan dengan kasus masyarakat Islam yang terlukai,” ujar Haedar di Kantor PP Muhammadiyah Chik Ditiro, Yogyakarta dalam jumpa press, Rabu (16/11).
Haedar mengatakan, setiap warga negara Indonesia harus saling menghormati dan menghargai agama dan keyakinan siapapun. Sehingga, tidak ada penistaan agama sendiri atau agama orang lain. “Agama merupakan ajaran suci yang mutlak diyakini oleh para pemeluknya serta harus dijunjung tinggi keberadaannya, sebagaimana dijamin konstitusi,” katanya.
Semua komponen bangsa, kata Haedar, hendaknya menjaga persatuan bangsa dan suasana kondusif. “Parade Bhinneka Tunggal Ika jangan dikontraskan dengan tuntutan umat Islam sebagai anti-kebhinnekaan,” ungkap Haedar.
Sebaliknya, menurut Haedar, tuntutan umat Islam ini dalam rangka merawat kemerdekaan. Karena itu, tidak perlu menambah area sengketa baru. Umat Islam merasa agamanya ternodai sehingga menuntut penegakan hukum. Bukan merusak kebhinnekaan.
Haedar justru mengajak segenap warga negara untuk mencurahkan energy dan perhatian optimal dalam melakukan kerja-kerja cerdas dan produktif demi mewujudkan Indonesia berkemajuan.
“Lebih baik sekarang kita mencoba meng-cover untuk mengeliminasi hal-hal yang menimbulkan rasa curiga,” tutur Haedar (Ribas).