MALANG, Suara Muhammadiyah – Selain mengungkap pentingnya bahasa Indonesia sebagai penjaga integritas bangsa, Seminar Nasional Bahasa dan Sastra Indonesia yang digelar oleh Magister Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia Universitas Muhammadiyah Malang (UMM) pada Selasa-Rabu (15-16/11) di Auditorium UMM juga mengangkat pentingnya sastra untuk membangun karakter kebangsaan.
Menurut guru besar Fakultas Bahasa dan Seni Universitas Negeri Malang (UM) Prof Dr Djoko Saryono MPd, cipta sastra cukup fungsional sebagai wahana pembelajaran moral dan karakter. Sastra juga dinilainya dapat menjadi pintu masuk dalam memberikan pengalaman etis dan moral bagi para pelajar.
Sayangnya, menurut Djoko, mata pelajaran Bahasa Indonesia pada kurikulum 2013 telah melupakan sastra, setidak-tidaknya meminggirkan sastra. “Sebaliknya, kurikulum itu terlampau memuja-muja teks-teks non-sastra yang tak mudah dipahami dan tak jelas arahnya,” papar Djoko yang juga pendiri Cafe Pustaka UM ini.
Mengamini hal itu, dosen Program Studi Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan (FKIP) UMM Dr Hari Sunaryo MSi mengatakan, dengan mengadaptasi kearifan lokal, pembelajaran sastra dapat mengokohkan jati diri bangsa yang berakar dari nilai-nilai keindonesiaan.
Sebagai entitas budaya, menurut Hari, kearifan lokal telah teruji memiliki daya yang bermakna strategis dalam menjaga dan mengembangkan kebudayaan. “Dengan mengadaptasi secara kreatif kearifan lokal ke dalam sistem pembelajaran, hal itu tentunya akan berimbas pada kokohnya nilai-nilai kebangsaan,” jelas Wakil Dekan III FKIP UMM ini.
Sementara itu dosen Fakultas Bahasa dan Seni Universitas Negeri Surabaya (Unesa) Budinuryanta Yohanes menegaskan, pembelajaran bahasa Indonesia tidaklah cukup terpumpun pada pembelajaran kaidah dan kefasihan berbahasa, tetapi harus berorientasi pada pembentukan kepribadian keindonesiaan.
Untuk mendukung hal itu, kata Budinuryanta, perlu dikembangkan pembelajaran bahasa interkultural agar siswa memiliki kepekaan dan kesadaran budaya akan kebinekaan Indonesia. “Sekalipun siswa terlahir dan terukir dalam budaya dan masyarakat tertentu, namun ketika belajar bahasa sasaran ia terbuka terhadap keragaman budaya, tanpa meninggalkan budaya asalnya.”
Selain seminar yang berbentuk pleno, kegiatan ini juga memuat sesi paralel yang menghadirkan 35 pemakalah dan 150 peserta dari berbagai wilayah di Indonesia. Rektor UMM Fauzan berharap, seminar ini mampu menggali pikiran akademisi dalam memanfaatkan bahasa dan sastra Indonesia untuk mewujudkan Indonesia yang lebih beradab (Humas UMM).