Oleh: Fauzan Muhammadi MA
Fauzan Muhammadi LC, LL.M, Dosen Universitas Ahmad Dahlan Yogyakarta Alumni Universitas Al Azhar Mesir dan Omdurman Islamic University Sudan
Kehidupan manusia tidaklah akan lepas dari rekam sejarah. Sejarah sederhananya adalah masa lalu. Gerak dan langkah hidup yang lampau mau tidak mau akan masuk dalam pusaran waktu. Di sisi lain, fakta dan realitas kejadian ini akan menjadi tanda tanya bagi orang yang tidak mengalami. Maka, objektif-subjektifnya sejarah bergantung pada hasil telaah dari pertanyaan-pertanyaan tersebut. Selanjutnya adalah bagaimana kita kemudian bersikap terhadap kejadian-kejadian masa lalu.
Berbicara tentang sejarah kita tentu akan mencermati kata-kata seperti tarikh dan sīrah yang berasal dari Bahasa Arab. Ibnu Mandzur pada kamus bahasanya mensederhanakan tarikh sebagai waktu.
Barangkali itu juga yang menjadi rujukan dalam Bahasa Indonesia yang bermakna perhitungan tahun, bilangan tahun, tanggal, dan sejarah. Pada deskripsi yang khusus, tarikh adalah kumpulan fakta dan realita yang dilalui setiap kehidupan dan diamini oleh setiap individu atau masyarakat.
Sejarah pada dasarnya merupakan bentuk dokumentasi keberlanjutan hidup yang berfungsi sebagai evaluator manusia. Islam telah sejak awal memberikan atensi terhadap sejarah. Ini bisa dilihat dari sebagian besar ayat Al-Qur’an yang merekam kisah hidup masa lalu. Selain dari jejak sejarah yang disuguhkan dalam Al-Qur’an, beberapa ayat di dalamnya turut merumuskan fungsi dari sejarah itu sendiri. Beberapa ayat-ayat tersebut bisa disebutkan sebagai berikut: QS. Ali Imran: 137, QS. Al-Nahl: 36, dan QS. Al-An’am: 11.
Ayat-ayat tersebut jika ditilik merupakan alur fungsi suatu sejarah. Melalui akar kata nazhara, Allah memerintahkan kepada manusia untuk ‘melihat’ ke belakang. Perintah ini bertujuan untuk memberikan bekal bagi manusia untuk bijak dalam menjalankan kehidupannya. Tidak mengambil sampel-sampel pola hidup masa lalu yang cenderung salah dan merusak.
Muhammad Abduh memberikan penjelasan kalau perintah Allah untuk ‘melihat’ ke belakang sebagai perhatian kita terhadap dua sisi: orang-orang saleh dan orang-orang yang berdusta. Ia menambahkan, bahwa apabila manusia berkehendak mengambil iktibar jalan hidup orang saleh maka akan memperoleh akibat yang sama sebagaimana mereka. Sebaliknya, apabila kita menjejakkan langkah di jalan para pendusta, maka akan berakibat sama sebagaimana mereka.
Pada sisi lain beberapa ayat di atas juga memiliki perintah lain selain perintah untuk memperhatikan fakta kejadian masa lalu, yaitu perintah untuk sīrū. Dari kata inilah kita kemudian mengenal kata sīrah. Perintah tersebut dijalankan dalam rangka untuk mendapatkan pengetahuan atas apa yang pernah terjadi. Dengan melakukan observasi perjalanan sejarah manusia kemudian dapat merumuskan apa yang perlu dilakukan dan yang perlu ditinggalkan. Rumusan inilah yang kemudian menjadi formula dalam meneruskan perjalanan hidup.
- Ali-Imran 137, merupakan bentuk perintah sekaligus pengingat terkait peristiwa Uhud. Peperangan umat Islam melawan kaum kafir Quraisy yang menyejarah. Akibat dari ketidakpatuhan para pasukan pemanah di Bukit Uhud, tergoda harta rampasan, umat Islam diserang dari belakang. Ayat tersebut menjadi ibrah bagi manusia untuk mengingat-ingat kembali faktor dan latar belakang kekalahan.
Terkait dengan QS. Al-Nahl 36, Dengan dua perintah yang sama Allah mengingatkan agar merujuk pengalaman masa lalu. Fakta kejadian umat terdahulu yang justru ingkar dan mendustakan kekuasaan Allah serta risalah para rasul-Nya. Kaum ‘Ad, Tsamud dan lain sebagainya. Ini menjadi poin penting bagi umat Islam untuk kerap melakukan iktibar. Terutama mengembalikan posisi manusia sebagai abid dan mengeliminasi polah laku negatif kaum-kaum terdahulu.
Sementara pada QS. Al-An’am: 11 dalam tafsir Al-Manar secara khusus kata fanzhurū dan sīrū ditujukan kepada para kafir Quraisy. Ini berhubungan dengan celaan dan penyangkalan mereka kepada Muhammad Saw. Maka, Allah meminta kepada Baginda Rasul untuk mengatakan kepada mereka, “berjalanlah di muka bumi dan perhatikanlah akibat orang-orang yang berdusta.”
Seperti halnya ungkapan, “pengalaman adalah guru terbaik”, maka demikian pula halnya dengan sejarah. Pemanfaatan sejarah sebagai pemberi pengalaman menjadikan manusia perlu untuk senantiasa merujuk ke belakang. Demikian pula menjadikan latar belakang sejarah sebagai referensi hidup yang berulang dan berputar. Sehingga manusia memiliki persiapan dalam posisi mapan.
Khazanah Islam sejak dini memahami betul arti penting dari sejarah. Atensi yang ditunjukkan Allah dalam Al-Qur’an mendorong umat Islam untuk mengacu pada sejarah. Perintah nazhar dan sīrū menjadi alat untuk mendapatkan ilmu dan pengalaman masa lalu. Inilah mengapa, para ilmuwan muslim dahulu banyak menyusun dokumentasi sejarah. Karena menurut mereka sejarah bukan pengalaman yang terekam pada ingatan, namun perlu untuk terdokumentasikan pada lembar halaman tertulis. Mengacu pada kata tarikh, kita kemudian mengenal seorang muarrikh atau sejarawan.
Para ilmuwan muslim terdahulu nyatanya tidak setengah-setengah dalam menyusun dokumentasi sejarah. Banyak di antara mereka yang menyusun sejarah hingga berjilid-jilid banyaknya. Jenis yang disusunpun banyak beragam: biografi, enskilopedi, timeline, dan lain sebagainya. Ketetapan para ilmuwan muslim menulis sejarah, di samping berdasarkan riwayat lisan, di antara mereka juga melakukan ekspedisi sejarah.
Ibnu Khuldun dalam Mukadimahnya memberikan deskripsi lugas soal sejarah. Secara fungsi, sejarah akan menampakkan ihwal perilaku umat-umat terdahulu, perjalanan para nabi, serta dunia politik kerajaan suatu negeri. Itu semua dapat menjadi referensi hidup dalam mengambil sikap atau posisi umat-umat yang hidup setelahnya. Menurutnya, sejarah yang hanya dilalui dari suatu cerita dan riwayat kisah belum cukup baik dipedomani. Masih dimungkinkan untuk terjadi kekeliruan dan kealpaan. Namun perlu digarisbawahi bahwa bukan berarti riwayat sejarah tidak penting dan tidak sahih. Akan tetapi perlu memilih dan memilah mana riwayat yang keabsahannya teruji dan terhindar dari kata keliru.
Melalui Al-Qur’an, telah jelas sekali bagaimana seharusnya kita memperlakukan sejarah. Umat Islam diminta untuk melakukan interaksi dengan kejadian masa lalu. Bermuamalah dengan sejarah merupakan wujud interaktif kita terhadap masa lalu. Bermuamalah dengan deskripsi umumnya adalah sifat ketersalingan: saling berhubungan satu sama lain. Karena itulah dua aktifitas dalam bersejarah, sebagaimana disebut sebelumnya: nazhar dan sair, menjadi penghubung masa kini dengan masa lalu. Hubungan ini kemudian akan membawa hasil pengetahuan.
Hasil inilah yang kemudian akan dicerna dan dicermati untuk dijadikan suatu realitas yang berlanjut atau realitas yang telah berakhir. Pada sisi itulah kita, khususnya umat Islam diminta bijak dalam membaca atau menyajikan sejarah. Bijaknya kita dalam membaca atau menyajikan sejarah akan membawa dampak positif.
Lebih-lebih adalah capaian dampak tertinggi menuju ridha Allah Swt. Maka kalimat “kaifa kāna āqibatul mukadzdzibīn” merupakan harapan dari capaian bermuamalah dengan sejarah. Capaian dari hasil observasi masa lalu yang menuntun diri untuk tidak meniru yang buruk dan memajukan yang baik.