JAKARTA, Suara Muhammadiyah – Ketua Pimpinan Pusat Nasyiatul Aisyiyah, Diyah Puspitarini mengutuk keras tindakan kejahatan kemanusiaan yang dilakukan militer Myanmar kepada etnis minoritas Rohingya di negara bagian Rakhine, selama dua pekan terakhir.
Parahnya, pemerintah setempat terkesan diam saja dengan aksi militer memperkusi warga negaranya sendiri. Termasuk anak-anak dan perempuan. “Tindakan ini sangat tidak berperikemanusiaan. Apalagi banyak perempuan dan anak-anak turut menjadi korban,” ujar Diyah Puspitarini, Selasa (22/11).
Diyah menegaskan, perempuan dan anak-anak seharusnya dilindungi dalam kondisi apapun. “Tindakan kekerasan pada etnis Rohingya, khususnya kekerasan terhadap perempuan dan anak-anak adalah kejahatan kemanusiaan,” ujarnya.
PP Nasyiatul Aisyiyah menilai, operasi militer yang dilancarkan pada etnis Rohingya jelas telah melanggar HAM penduduk sipil. Faktanya, kata Diyah, lebih dari 100 orang meninggal dan ratusan orang ditangkap.
Tak hanya itu, ungkap Diyah, 30 ribu orang kehilangan tempat tinggal serta 150 ribu jiwa hidup tanpa makanan dan akses kesehatan yang memadai. Puluhan perempuan mengalami perkosaan dan lebih dari 1.200 bangunan telah dibakar dan dihancurkan, termasuk masjid. “Ini tidak bisa dibenarkan,” tegas Diyah.
PP Nasyiatul Aisyiyah sebagai organisasi ramah perempuan dan anak mengajak semua pihak ikut terlibat menyelesaikan perilaku yang tidak berperikemanusiaan ini. Diyah menghimbau masyarakat Indonesia untuk bersimpati dan melakukan berbagai upaya sebagai bentuk kepedulian terhadap etnis Rohingya.
Nasyiatul Aisyiyah juga mengimbau pemerintah untuk membantu permasalahan Rohingya dengan langkah diplomasi strategis. Termasuk melalui penggalangan kekuatan internasional untuk mengecam dan menekan pemerintah Myanmar menghentikan kejahatan itu.
“Selain itu, masyarakat dunia melalui PBB harus mampu menekan pemerintah Myanmar untuk membuka kembali akses bantuan kemanusiaan masuk ke Rakhine. PBB sebaiknya memberi sanksi kepada Myanmar agar menghentikan tindakan represifnya pada etnis Rohingya,” tutur Diyah (Ribas).