KUALA LUMPUR, Suara Muhammadiyah- Aksi solidaritas dan kecaman public terus berdatangan menanggapi krisis kemanusiaan yang terjadi di Myanmar. Salah satu di antaranya datang dari Malaysia yang dikabarkan akan menarik diri dari ajang Piala AFF sebagai bentuk protes terhadap kekerasan yang menimpa Muslim Rohingya. Myanmar menjadi satu dari dua tuan rumah penyelenggara piala AFF 2016.
Keputusan untuk melakukan penarikan diri dari ajang ini tentu bukanlah hal yang mudah karena ancaman sanksi FIFA yang akan dijatuhkan terhadap Malaysia. Hal ini masih menjadi perdebatan di antara dua kubu publik Malaysia dan akan diputuskan dalam rapat kabinet pada Jumat (25/11).
Sebelumnya, Malaysia behasil berlaga mengalahkan Kamboja dan pada Sabtu (26/11) akan berduel dengan tuan rumah Myanmar di partai terakhir di Grup B Piala AFF 2016.
Menteri Pemuda dan Olahraga Malaysia Khairy Jamaluddin menjadi salah salah satu yang mengupayakan penarikan Tim Nasional Malaysia dari ajang ini. Menurutnya, kekerasan yang dilakukan oleh militer Myanmar terhadap Rohingya tidak bisa ditolerir.
“Untuk apa olahraga tanpa kemanusiaan? Tidakan mereka sangat ekstrem terhadap salah satu etnis Myanmar dan mereka adalah Muslim,” katanya.
Khairy pun bepesan bahwa apapun hasil yang akan dikeluarkan kabinet Jum’at esok, public tidak boleh tinggal diam kondisi saudara Muslim Rohingya yang belum kunjung membaik. “Namun, apapun yang mereka putuskan, kita harus terus bersuara,” imbuh Khairy.
Wacana penarikan diri sebagai aksi solidaritas kepada Muslim Rohingya pun mendapatkan perhatian yang besar dari masyarakat Malaysia. Sebelumnya, Malaysia juga pernah menarik diri dari Olimpiade sebagai protes terhadap invasi Uni Soviet ke Afghanistan pada tahun 1980 silam. Beberapa negara pun pernah melakukan aksi protes serupa dan berakhir mendapatkan peringatan dari FIFA, di antaranya Federsasi Bosnia, Nigeria dan Uni Soviet.
Selama bertahun-tahun, Muslim Rohingya telah hidup dalam ancaman dan kekerasan di bawah rezim junta militer karena identitas mereka yang tidak diakui secara sah. 30.000 diperkirakan telah melarikan diri mengungsi ke negara-negara lain demi mendapatkan keamanan, 86 nyawa telah melayang. Namun, dengan pergantian pemerintahan Myanmar ke pemerintahan sipil, tidak juga mampu memberikan perubahan terhadap kondisi yang menimpa mereka. Bahkan, setelah seorang aktivis HAM dan Demokrasi serta peraih nobel Predamaian Aung Sang Suu Kyi menduduki jabatan strategis di Myanmar.
Kasus terakhir yang menandai eskalasi kekerasan antara militer dengan Muslim Rohingya ini diawali oleh insiden penyerangan kepada militer Myanmar yang diklaim dilakukan oleh ekstremis Islam pada 9 Oktober 2016. Semenjak itu, masukan militer Myanmar secara membabibuta melakukan pembakaran rumah-rumah di perkampungan Rohingya di Rakhine. Bukan hanya pembakaran, namun aktivis HAM mengkawatirkan telah terjadi kebrutalan lain seperti penyiksaan dan pemerkosaan. Namun, militer tetap bersikukuh bahwa tidakan mereka adalah bentuk dari penyisiran area pasca insiden tersebut dan diklaim sebagai sesuatu yang legal.
Hingga saat ini, sejumlah organisasi kemanusiaan Internasional termasuk pemerintah Indonesia masih berupaya mendesak pemerintah Myanmar untuk membuka jalur bantuan serta mengusahakan penyaluran bantuan kemanusiaan untuk Muslim Rohingya (Th).