AMSTERDAM, Suara Muhammadiyah- Politisi Belanda anti Islam, Geert Wilders akan menghadapi putusan pengadilan pada 9 Desember. Wilders telah menjalani proses peradilan dengan dugaan Hate Speech selama 3 minggu di Pengadilan Schipol yang secara resmi akan ditutup pada Jum’at (25/11).
Keputusan tersebut diambil setelah pengadilan Hague, Denhaag pada Jum’at (14/10) menolak banding terakhir yang diajukan pengacaranya untuk membatalkan tuduhan tersebut.
“Pengadilan menolak semua keberatan yang diajukan oleh pembela,” kata Hakim Hendrik Steenhuis di pengadilan distrik The Hague.
Wilders dituduh melakukan diskriminasi dan memantik rasisme dalam komentar yang dibuatnya di hadapan media serta para pendukungnya dalam kampanye tahun 2014. Di hadapan khalayak umum ia menanyakan pendapat para pendukungnya tentang keberadaan para pendatang dari Maroko di negara kincir angin tersebut. “Apakah kalian menginginkan lebih sedikit atau lebih banyak orang Maroko di kota kalian ataupun di Belanda?” Kerumunan pendukungnyapun meneriakinya dengan mengatakan bahwa mereka menginginkan lebih sedikit jumlah mereka yang datang dari Maroko. Seketika itu pula, Wilders tersenyum sembari menimpali bahwa dirinya bisa mengupayakan keinginan tersebut.
Dalam kemunculan terakhirnya di pengadilan tinggi di Amsterdam, Wilders bersikukuh bahwa apa yang dilontarkannya bukanlah tindakan rasisme. Ia menilai ekspresinya akan imigran Maroko adalah suara para pendukungnya. Ia banhkan mengancam dengan perkataannya bahwa tuduhan yang diberikan kepadanya adalah tuduhan kepada masyarakat Belanda.
“Saya berdiri sendiri saat ini, namun saya bukan satu-satunya yang ada di pengadilan ini. Anda akan menjatuhkan tuduhan kepada jutaa wanita dan pria di Belanda,” ungkap Wilders di muka pengadilan.
Dilansir dari AFP, komentar rasial Wilders di tahun 2014 tersebut telah memicu datangnya 6400 aduan dan kritik dari dalam partainya sendiri. 56 orang dan lima organisasi telah terdaftar sebagai korban dari pernyataan diskriminatifnya, dan sedikitnya 34 orang telah maju ke pengadilan untuk memberi kesaksian.
Namun, Wilders pun menanggapi tuduhan tersebut melalui akun twitternya sebagai tuduhan dengan motivasi politik. Dalam kemunculan terakhirnya di pengadilan, ia menegaskan bahwa dirinya hanya mengungkapkan apa yang dipikirkan oleh jutaan warga Belanda lainnya. Atas dasar kebebasan berbicara, ia pun menambahkan bahwa dirinya tidak menyesal mengeluarkan pernyataan tersebut. Pengacaranya pun membelanya dengan mengatakan bahwa yang diucapkan Wilders adalah sesuatu yang wajar yakni sebagai petinggi partai Kebebasan – Freedom Party Wilders mengedepankan program politik partainya.
Menjawab tanggapan tersebut, Jaksa pemimpin Wouter Bos menerangkan bahwa, “Kebebasan berbicara tidaklah absolut, kebebasan tersebut diikuti oleh kewajiban dan pertanggungjawaban. Kewajiban tersebut termasuk untuk tidak membuat kelompok satu melawan kelompok lainnya,” ujarnya di pengadilan Schipol, Jum’at (14/10) dilansir dari Deutsche Welle.
Goran Sluiter, seorang pengacara dari pihak yang mengajukan tuntutan kepada Wilders menegaskan kepada jaksa bahwa ini adalah satu-satunya cara agar hukum mampu melindungi kelompok minoritas di negara tersebut.
Ini merupakan kali keduanya menghadapi tuduhan komentar diskriminatif. Di tahun 2011, Wilders menyuarakan perlunya larangan terhadap Al-Qur’an di negara tersebut, serta seruan untuk mendeportasi para pelaku kriminal yang berasal dari Maroko. Ia pun dibebaskan setelah hakim memutuskan bahwa komentarnya, walaupun terdengar kasar kepada sejumlah kelompok, namun masih berada dalam batas-batas wacana politik yang sah.
“Hanya karena Geert Wilders dan partainya tidak pernah dijatuhi hukuman selama 9 tahun karena pandangan mereka tentang masyarakat pendatang dari Maroko, bukan berarti saat ini ia tidak akan diproses secara hukum atas komentarnya tentang warga Maroko,” imbuh Steenhuis kepada Deutsche Welle (Th).