Muhammadiyah Kaji Undang-Undang Lembaga Keuangan Mikro

Muhammadiyah Kaji Undang-Undang Lembaga Keuangan Mikro

JAKARTA, Suara Muhammadiyah– Lahirnya Undang-Undang No 1 Tahun 2013 tentang Lembaga Keuangan Mikro (LKM) merupakan angin segar  terciptanya  financial inclusion bagi masyarakat yang selama ini kesulitan memperoleh akses keuangan. Sehingga hadirnya UU tersebut diharapkan  mampu memberikan jawaban terhadap pelebaran  gini rasio yang selama ini terjadi di tanah air. Selain itu juga, semakin memberikan kejelasan secara aspek hukum terhadap menjamurnya praktek LKM yang jenisnya beragam selama ini.

Namun ditengah pemberlakuan UU tersebut, ada sebuah “kegamangan” yang dialami oleh sebuah lembaga mikro bernama Baitut Tanwil Muhammadiyah (BTM)  yaitu sebuah gerakan ekonomi Muhammadiyah  dalam mensejahterakan umat.

Pasalnya, praktek operasional secara hukum yang dijalankan oleh BTM selama ini mengacu pada Undang-Undang No 25 Tahun 1992 tentang koperasi. Sementara dalam nomenklatur UU No 1 Tahun 2013 disebutkan bahwa BTM termasuk LKM.

Berdasarkan fakta inilah, maka Induk BTM bersama media TeropongSenayan.com pada tanggal 29 November 2016, akan mengkaji dalam diskusi nasional dengan tema “Revitalisasi BTM Pasca Terbitnya  UU No 1 Tahun 2013” di gedung SMESCO KUKM – Jakarta Selatan.

Agus Yuliawan ketua panitia dan sekaligus juga anggota pengurus Majelis Ekonomi dan Kewirausahaan PP Muhammadiyah, mengatakan, diskursus tentang UU No 1 Tahun 2013—sering dilakukan oleh Induk BTM yang kantor pusatnya di Pekalongan – Jawa Tengah, namun sejauh ini belum ada titik temunya.

Selain itu juga dalam diskursus yang dilakukan masih banyak catatan-catatan atau kritik terhadap UU LKM yang merupakan payung hukum LKM selama ini. Untuk menjebatani itu semua, sangat  diperlukan sebuah kajian secara komperehensif terutama dari sisi regulator (DPR-RI, Otoritas Jasa Keuangan (OJK) dan Kementerian Koperasi dan UKM), praktisi koperasi dan LKM dan akademisi Muhammadiyah.

Dalam diskusi  nasional tersebut  akan menghadirkan para narasumber yang terdiri dari  Meliadi Sembiring Deputi Kelembagaan Kemenkop UKM,  Muhammad Hekal Wakil Ketua Komisi VI DPR, Suparlan Direktur  LKM OJK, Setyo Heriyanto LPDB-KUKM, Abdullah Yazid Ketua BMT BUS Lasem, Akhmad Sakhowi Ketua Pusat BTM Jawa Tengah dan  Mukhaer Pakkana Ketua STIE Ahmad Dahlan.

“Dengan para narasumber inilah kami berharap ada sebuah konklusi atau rekomendasi yang sangat penting bagi masa depan BTM dan LKM yang berbasis koperasi di tanah air ini,” terangnya (24/11/ 2016)

Diakui oleh Agus Yuliawan, bahwa sesungguhnya secara budaya unggulan masyarakat Indonesia tidak bisa dipisakan dengan semangat guyub atau dikenal dengan gotong royong dan kekeluargaan. Budaya ini bukan sekedar pada aktifitas sosial saja yang merupakan nilai-nilai yang dimiliki oleh etnik dinegeri ini, tapi juga nilai privat dan publik.

Maka sangat wajar apabila nilai-nilai tersebut dikuatkan dalam konstitusi pada pasal 33 Undang-Undang Dasar 1945 yakni perekonomian disusun sebagai usaha bersama berdasarkan asas kekeluargaan.

“Yang menjadi pertanyaan, apakah di UU No 1 tahun 2013 tersebut  masih ada membawa semangat filosofi konstitusi itu? Jika masih ada dan sama-sama saling menguatkan terhadap nilai-nilai ekonomi kerakyatan tidak jadi masalah. Tapi jika itu tidak, harus kita pertanyakan,” tandas Agus.

BTM sebagai sebuah Amal Usaha Muhammadiyah (AUM) disektor keuangan mikro berbasis koperasi syariah selama ini   sudah mampu memberikan kontribusi terhadap perekonomian nasional, hal ini dibuktikan dengan hadirnya BTM-BTM di 4 provinsi yang maju dengan pesat, yakni Jawa Tengah, Jawa Timur, Banten dan Lampung.

Hadirnya BTM tersebut telah memacu lahirnya semangat kewirausahaan di lingkungan Muhammadiyah dalam menumbuhkan sektor riil. Hadirnya BTM, merupakan strategi Muhammadiyah secara ekonomi, dalam menghambat capital outflow  di daerah, karena BTM didirikan di tiap-tiap kantong-kantong ekonomi Muhammadiyah di  daerah. Maka dengan adanya UU LKM, mampukah akselerasi BTM-BTM yang ada selama ini semakin cepat tumbuh dan berkembang.

Karena kita tahu, lanjut Agus Yuliawan, Muhammadiyah dalam Muktamar ke – 47 di Makassar telah mencanangkan ekonomi sebagai pilar ketiga Muhammadiyah  dan begitu juga Majelis Ekonomi dan Kewirausahaan PP Muhammadiyah telah membuat blue print gerakan ekonomi Muhamadiyah.

“Ini artinya,  posisi BTM sangat setrategis dalam mendorong, sekaligus dalam akselerasi menumbuh kembangkan pemberdayaan ekonomi umat, selain peran Jaringan Saudagar Muhammadiyah (JSM) yang kini telah bergerak secara makro bisnis,”paparnya.

 

 

Exit mobile version