YOGYAKARTA, Suara Muhammadiyah-Kolonialisme atau penjajahan yang dilakukan negara-negara Barat di masa lalu telah mengubah dunia secara substansial dan implikasinya dirasakan hingga hari ini. Realitas itu dibuktikan melalui kajian wacana pascakolonial yang dilakukan Katrin Bandel, seorang mualaf asal Hamburg, Jerman yang sebelumnya sebagai atheis.
Setelah berkonversi menjadi muslim, dosen Kajian Budaya di Universitas Sanata Dharma itu mengalami berbagai peristiwa unik, ditinjau dari kajian wacana pasca kolonial. Hal itu diulas Katrin dalam acara Kajian Malam Satu (Kamastu) Angkatan Muda Muhammadiyah (AMM) Daerah Istimewa Yogyakarta, Jumat (25/11).
Menurut Katrin, kolonialisme telah mempengaruhi cara berpikir dan psikologi masyarakat di negara-negara jajahan. Hal ini memiliki keterkaitan dengan ketimpangan relasi kekuasaan global.
Dalam wacana kolonial, ada anggapan bahwa umat manusia terdiri dari berbagai ras dan ras yang paling unggul hanyalah ras kulit putih. “Karena menganggap diri unggul, maka berhak untuk mengatur, memimpin dan mengajar mereka (selain ras kulit putih),” urai Katrin.
Namun, yang patut disayangkan, kata Katrin, wacana kolonial itu kemudian tidak hanya diyakini oleh penjajah. Namun juga menyebar ke masyarakat yang menjadi objek jajahan, bahwa Barat lebih unggul segalanya dalam semua bidang.
Wacana kolonial juga memandang Islam sebagai agama yang bertentangan dengan nilai-nilai Barat. “Islam dianggap tidak bisa bersatu dengan nilai-nilai Barat, seperti demokrasi dan isu-isu perempuan,” kata penulis buku Sastra, Perempuan, Seks.
Begitu orang Barat masuk Islam, apalagi menggunakan jilbab, akan diperlakukan berbeda. Hal itu tidak hanya terjadi di Jerman dan negara-negara Eropa. Bahkan juga di Indonesia. “Superioritas orang Barat tidak hanya di Barat, tapi di sini (Indonesia) juga ada,” papar Katrin.
Di Indonesia, Katrin mengalami pengalaman ‘diinterogasi’ oleh seorang driver ojek, karena dianggap aneh. ‘Ada bule berambut pirang namun berjilbab. Tidak mungkin identitas rambut pirang berjilbab’, kenang Katrin.
Katrin pernah pula suatu ketika menanyakan lokasi mushalla terdekat di sebuah pos polisi di Yogyakarta. Ia yang pada waktu itu masih belum menggunakan jilbab dianggap asing. Meskipun kemudian memilih solat di sebuah ruangan pos polisi tersebut.
Ada anggapan di Barat, mualaf perempuan itu adalah bodoh. Karena ia sudah maju, tetapi mau masuk ke agama yang menindasnya. Islam dianggap sebagai agama yang menindas perempuan dan sexis. “Laki-laki muslim identik dengan teroris sementara perempuan muslimah identik dengan tertindas,” ujarnya.
Dalam perspektikf Katrin, informasi yang diterima Barat terhadap Islam cenderung parsial dan negatif. Saat ia masih kecil dan remaja, informasi tentang jilbab dan cadar itu sebagai sesuatu yang menyeramkan. Stereotipe negatif itu bertambah sejak peristiwa WTC pada 11 September 2001.
“Masyarakat umum (di Jerman) memarjinalisasi orang Jerman yang masuk Islam, serta meragukan kejernihan dan keeropaan mereka, berdasarkan keyakinan bahwa tidak mungkinlah seseorang menjadi Jerman atau Eropa dan Muslim sekaligus,” kata Katrin mengutip buku Ozyurek, tahun 2015.
Ketika memeluk Islam, Katrin harus menerima kenyataan itu. “Ibu saya sangat trauma karena saya masuk Islam,” kisahnya. “Pernah ibu saya sambil menerawang berkata ‘Apa ya salah saya, kok anak saya jadi begini’ (masuk islam)?” kata Katrin.
Namun begitu, Katrin mewanti-wanti bahwa pengalaman spiritual sangatlah kompleks, sangat individu dan tidak bisa disederhanakan. Katrin tidak setuju dengan gaya berdakwah sebagian kalangan yang menampilkan mualaf sebagai orang yang ‘langsung berbeda’ ketika sesudah dan sebelum menjadi mualaf. Seolah serba hitam-putih dan instan.
Bagi Katrin, gambar-gambar yang beredar tentang mualaf yang sebelumnya masih belum berjilbab lalu kemudian berjilbab, tidak seharusnya diekspos dan dijadikan bahan dakwah. “Saya sangat tidak nyaman dengan dakwah semacam itu,” ujarnya.
Dalam sebuah perjalan dari Jogjakarta-Jakarta-Singapura-Paris-Hamburg, Katrin Bandel menulis cerita berikut:
Bagiku, perjalanan mudik tahunan dari Indonesia ke Jerman selalu membawa renungan dan pengalaman menarik. Siapa diriku, bule Eropa yang sudah sekian tahun hidup di Indonesia? Sehibrid apa identitasku? Di mana posisiku? Semua itu menjadi begitu akut dan konkrit di tengah perjalanan.
Sejak menjadi Muslim, dan lebih-lebih sejak berjilbab, pengalamanku semakin unik. Perjalanan mudikku menjadi agak rumit: Demi menghormati ibundaku yang belum bisa menerima agama dan penampilan baruku, aku melepas jilbabku saat aku bersamanya. Dan karena orangtuaku selalu menjemputku di airport, maka di tengah perjalanan aku perlu melepas jilbabku, agar aku berada dalam keadaan tanpa jilbab saat disambut orangtuaku. Renungan seputar posisi dan identitasku pun semakin rumit. Di mana posisiku saat berjilbab? Dan apa yang berubah di saat aku sudah melepasnya?