YOGYAKARTA, Suara Muhammadiyah-Seminar Pendidikan Politik PC IMM Djazman al-Kindi Kota Yogyakarta mengusung tema “Peran IMM dalam Menjawab Tantangan Globalisasi dan Mengawal Kebijakan Bervisi Kerakyatan”. Salah satu sesi dalam acara yang berlangsung di Gedung BPKB Yogyakarta pada 26 November 2016 itu menghadirkan ketua Majelis Pustaka dan Informasi (MPI) PWM DIY Dr Robby Habiba Abror.
Dalam paparannya, Robby mengajak para kader muda Muhammadiyah untuk tidak apatis dengan politik, terutama dengan melek etika politik. “Etika sebenarnya merupakan sebuah pendekatan filosofis yang dalam praktiknya dapat dijadikan sebagai basis moral politik Islam,” kata Robby.
Menurut Robby, nilai-nilai etika pada dasarnya berasal dari nilai-nilai agama yang luhur. “Jika menggunakan bahasa agama, etika dapat disubstitusi oleh term akhlak, yang oleh Imam al-Ghazali dimaknainya sebagai representasi moral individu secara mudah dan spontan,” tuturnya.
“Politik tidak cukup hanya dimaknai semata soal pengaruh, tujuan dan kepentingan, karena dapat terjebak dalam bias makna sekular. Kader harus punya keberanian dalam meredifinisi makna politik dalam bingkai etis yang dalam realitasnya selalu memperbarui maknanya. Politik Islam perlu memformulasikan paradigma baru secara kontekstual, solutif dan kontributif bagi jamannya,” ujar dosen Filsafat UIN Sunan Kalijaga itu.
Teoretisasi politik Islam, ujar Robby, dapat merujuk pada konsepsi historis siyasah Islamiyah seperti konsepsi teodemokrasi model Abul A’la al-Maududi sampai dengan tawaran High Politics model Amien Rais.
“Pada kenyataannya, orang awam dapat melihat secara kasat mata bahwa politik itu jahat, politik itu kotor, politik itu kejam, hanya memikirkan kepentingan diri sendiri, kelompok dan berjangka pendek, dan seterusnya,” kata anggota tim asistensi Majelis Diktilitbang PP Muhammadiyah itu.
Oleh karena itu, sangat penting untuk tidak meninggalkan nilai-nilai agama dalam politik. “Jika politik dipisahkan dari agama, ia tak lagi dapat merepresentasikan risalah ilahiyah atau nabawiyah,” tambahnya.
Saat ini, kata Robby, umat Islam dan kader muda Muhammadiyah pada khususnya, harus bisa menempatkan diri di posisi wasatiyah (moderat) dalam menghadapi kondisi politisasi dakwah dan sekularisasi politik.
“Kita memang sedang dihadapkan pada wajah oposisi biner antara politisasi dakwah di satu sisi dan sekularisasi politik di sisi lain. Umat Islam tak perlu bingung dalam kekacauan semantik sejenis, sehingga dapat berkomitmen untuk tetap berdiri kokoh dan teguh pada prinsip-prinsip agama Islam. Formula teoretik yang bersumber pada al-Quran dan Hadis dapat dijadikan landasan etis bagi komitmen politik dan politik representasi Islam secara lebih bertanggung jawab dan berkemajuan,” paparnya.
Robby juga mengingatkan bahwa dalam merespon ketidakadilan, energi umat Islam harus diarahkan melalui kritik yang jernih sebagaimana konsep amar ma’ruf nahi munkar yang sering didengungkan oleh Muhammadiyah.
“Termasuk dalam melihat demonstrasi atau aksi damai sebagai bagian dari bentuk penyaluran aspirasi yang konstitusional dan instrumen politik dalam negara demokrasi yang kita anut selama ini,” tutur Robby (Ribas).