TANGERANG, Suara Muhammadiyah– Kalimat itu terlontar dari mulut ketua umum Pimpinan Pusat Muhammadiyah, Haedar Nashir saat pembukaan Tanwir Pemuda Muhammadiyah yang digelar di Narita Hotel, Tangerang Senin (28/11).
Dalam tanwir yang mengusung tema “Meninggikan Akhlak, Membumikan Dakwah untuk Indonesia Berkemajuan” itu, Haedar menceritakan sekilas tentang pengalamannya ketika masih sebagai aktivis. Katika itu, jiwa muda Haedar dicurahkan dalam berorganisasi dan dunia literasi.
“Rambut saya pernah gondrong. Ayah saya tidak pernah melarang saya gondrong. Tapi mengingatkan jika pendek lebih bagus,” kata Haedar. Pendidikan orang tua Haedar yang memberikan kebebasan bagi Haedar untuk memilih jalannya itu membentuk jiwa dan kepribadian.
Haedar menyatakan bahwa dirinya pernah mengabdi di suatu LSM sampai sepuluh tahun. Selain tentunya aktif di IPM dan PM. “Pekerjaan saya tetap, dari toko buku ke toko buku yang lain. Dari satu perpustakaan ke perpustakaan yang lain,” ujarnya.
Perpaduan antara jiwa yang haus ilmu dan dunia aktivis itulah yang membentuk kepribadian para penggerak Muhammadiyah. “Itulah yang membentuk kami di PP Muhammadiyah,” ujarnya. Sehingga ketika bergerak, mereka dipandu oleh intelektualitas dan spiritualitas yang luas. Oleh pengetahuan dan kebijaksanaan yang tidak kering makna.
Tidak hanya hari ini, namun sejak awal kelahiran Muhammadiyah, tak bisa dilepaskan dari budaya ilmu. “Jendral Soedirman, Juanda, Kasman, dan tokoh-tokoh Muhamadiyah yang dikenal jiwanya tegas dan pemberani adalah mereka yang jiwanya haus akan ilmu dan tidak pernah meninggalkan tradisi Iqra,” tutur Haedar.
“Kalau Pemuda Muhammadiyah ingin membangun narasi besar nalar praksis, ingin membangun peradaban, maka basisnya adalah kecerdasan dan ilmu. Pemuda Muhammadiyah, di tengah kesibukan apapun, selalu harus mau berdialog, berdiskusi, dan membangun tradisi iqra,” ajak Haedar kepada aktivis pemuda Muhammadiyah (Ribas).