MALANG, Suara Muhammadiyah-Rencana aksi 2 Desember (212) mendapat respon dari Rektor Universitas Muhammadiyah Malang (UMM) Fauzan. Saat di ditemui di kantornya, Selasa (30/11), Fauzan meminta masyarakat berpikir jernih agar tak menilai berlebihan aksi 212 itu.
“Ada yang bilang 212 itu politik makar untuk menjatuhkan pemerintah. Sebaliknya, ada juga yang menyepelekannya, 212 dianggap demonstrasi biasa yang sama sekali tak ada pengaruhnya bagi stabilitas bangsa. Saya berharap kita tidak berada di dua titik ekstrem ini,” kata Rektor.
Fauzan tak heran jika aksi 212 melahirkan tanda tanya, yaitu soal apakah aksi ini memiliki muatan lain yang sengaja disembunyikan. “Terlebih, aksi 212 terjadi setelah pihak kepolisian bergerak cepat menggelar kasus Ahok. Logikanya, jika tuntutan utama aksi 411 agar Ahok dipidanakan sudah terpenuhi, tak heran jika aksi lanjutan membuat orang menafsirkan macam-macam,” jelas Fauzan.
Karenanya, Fauzan mengapresiasi langkah Presiden Jokowi yang bersilaturahim dengan tokoh-tokoh organisasi Islam, terutama Muhammadiyah dan NU pasca-411. “Apalagi, sebelumnya terjadi ketegangan akibat pernyataan Jokowi soal adanya aktor politik di balik aksi 411,” papar Rektor
Fauzan juga mengapresiasi mediasi Polda Metro Jaya dengan Gerakan Nasional Pengawal Fatwa (GNPF) MUI terkait aksi 212. “Ini bagus untuk mencairkan ketegangan akibat pernyataan Kapolri Tito Karnavian soal kemungkinan terjadinya makar pada aksi 212.”
Bagi Fauzan, silaturrahim dan mediasi menunjukkan bahwa soal menjaga perdamaian, pemerintah dan massa aksi memiliki visi yang sama. “Namun, itu tak berarti bahwa secara politik, mereka berada di haluan yang sama. Mediasi yang dilakukan hanya bisa mengurangi ketegangan, tapi tak bisa menyamakan kepentingan politik,” terang Fauzan.
Lebih lanjut, Fauzan menilai, aksi 212 merupakan sebuah anomali. Bukan karena aksi itu sendiri, melainkan rentetan fenomena yang mengiringinya, yaitu aksi 14 Oktober dan 4 November. Jika diperhatikan, kata Fauzan, rentang masing-masing demonstrasi berjarak tak sampai satu bulan, dengan jumlah massa yang demikian besar.
“Terlebih, jika membandingkan rentetan aksi ini dengan berbagai demonstrasi berskala besar yang pernah terjadi di Indonesia, di antaranya Reformasi 1998, Malari 1974 dan Tritura 1966. Ketiga demonstrasi bersejarah tersebut turut dipicu faktor ekonomi, sesuatu yang tidak terjadi pada aksi 411 dan 212,” paparnya.
Anomali lainnya, lanjut Fauzan, adalah aktor gerakan yang saat ini tidak melibatkan mahasiswa. “Sekalipun sejumlah eksponen gerakan mahasiswa mengikuti aksi 411 dan 212, mereka bukanlah aktor melainkan hanya menjadi partisipan dan simpatisan saja,” seru Fauzan.
Tuntutan aksi 411 dan 212 juga dinilai Fauzan sangat khas. Tak ada tendensi politik yang terbuka, karena demostrasi itu dicitrakan sebagai aksi bela Islam melawan penista agama. Berbeda dengan Reformasi 1998, Malari 1974 dan Tritura 1966, yang secara terbuka menyerukan perlawanan politik.
Sekalipun begitu, Fauzan tetap menilai, rangkaian aksi massa berskala besar dua bulan terakhir ini merupakan bukti bahwa telah terjadi krisis kepemimpinan bangsa. Menurutnya, rakyat lebih mudah diarahkan oleh para pemimpin opini (opinion leaders) ketimbang pemimpin formal, yaitu penguasa.
“Aksi bela Islam perlu menjadi refleksi bagi pemerintah, bukan saja soal isi tuntutan yang disampaikan, tapi lebih-lebih soal sejauh mana kepercayaan rakyat pada pemimpinnya. Bagi umat Islam, pemimpin itu tak hanya dilihat dari sisi kemampuan manajerial dan pengambilan kebijakannya saja, tapi juga perilaku dan tutur katanya sebagai teladan masyarakat,” ungkap Fauzan.
Ketiadaan pemimpin idaman membuat masyarakat mudah kecewa. “Tugas pemerintah adalah mengelola kekecewaan itu, dan merubahnya menjadi harapan. Kekecewaan itu tak boleh diabaikan, jika tak ingin menjadi amunisi yang akan melahirkan kekecewaan lebih besar,” pungkasnya (Humas UMM).