YOGYAKARTA, Suara Muhammadiyah- Setiap organisasi internasional, seperti yang ditetapkan dalam Konvensi Genewa tahun 1949, harus bersifat netral, independen, dan impartial. Namun saat berada di lapangan, organisasi internasional dihadapkan pada persoalan berbeda yang membuat mereka berpihak kepada korban konflik.
Hal tersebut yang diungkapkan oleh Stephane Reynier de Montlaux, Konsultan Kemanusiaan, dalam kelas Mahathir Global Peace School 5, pada Rabu (30/11). Dalam materinya, Stephane menjelaskan pengalamannya bertahun-tahun sebagai anggota International Committee of the Red Cross (ICRC).
Stephane juga menjelaskan bahwa meskipun secara konsep setiap organisasi kemanusiaan harus bersifat netral, namun pada praktiknya akan ada salah satu dari pihak yang berkonflik yang memiliki jumlah korban lebih banyak dibandingkan pihak lainnya. Sedangkan organisasi kemanusiaan berkewajiban untuk menolong para korban tersebut, sehingga keberpihakan terkadang tidak terlepas dari praktik yang dilakukan oleh sebuah organisasi kemanusiaan.
“Organisasi kemanusiaan bersifat netral, independen, dan impartial, tetapi dapat meminta perlindungan dan asistensi bagi para korban konflik kepada pihak-pihak yang terlibat konflik. Sehingga dengan demikian akan muncul kesepakatan untuk dapat mendahulukan kepentingan korban konflik,” jelas Stephane.
Stephane juga menceritakan bagaimana aksi dari organisasi kemanusiaan sering tidak dihormati saat berada di area konflik. “Dalam ranah teknis, operasi kemanusiaan sering mendapatkan kesulitan untuk bersifat netral. Hal ini dikarenakan sikap hormat pelaku konflik terhadap organisasi kemanusiaan sudah menurun. Sehingga resiko seperti penculikan, pemboman struktur medis, dan pembunuhan staf medis meningkat,” ungkap Stephane.
Stephane memberikan contoh pada kasus konflik Maluku dengan Maluku Utara pada tahun 2001 hingga 2002. Ia menyampaikan bahwa permasalahan yang timbul akibat konflik yang dihadapi oleh Maluku Utara dengan Maluku memiliki karakter yang berbeda. Oleh karenanya sebagai organisasi kemanusiaan, harus dapat menyesuaikan bantuan yang akan diberikan pada kedua pihak, sesuai dengan latar belakang masalah yang hadir.
“Saat itu, Maluku Utara lebih mengalami dampak hebat akibat konflik. Masyarakat mengalami trauma dan kehilangan kerabat, yang mengakibatkan ketakutan dan kurangnya tenaga kerja. Infrastruktur juga tersendat karena sebagian besar desa berada di tempat terpencil yang memiliki akses yang susah, dan juga penghancuran desa mengakibatkan kurangnya perumahan untuk warga dan ketersediaan air bersih,” ujar Stephane.
Dengan kondisi demikian, Organisasi Internasional yang membantu diwaktu itu, mendukung Maluku Utara dengan sumbangan darurat dan bahan untuk merekonstruksi desa. Sehingga sumber daya keuangan pengungsi, dapat dialokasikan untuk kegiatan sosial. “Sedangkan bantuan yang diberikan untuk Maluku sendiri adalah penanganan atas 130.000 pengungsi dan mengidentifikasi daerah mana yang layak mendapatkan bantuan program, serta berkoordinasi dengan pemerintah kabupaten, provinsi, hingga otoritas nasional,” terang Stephane (deansa).