Jakarta Unfair dan Sisi Lain ‘Pembangunan’

SLEMAN, Suara Muhammadiyah-Bertempat di Pendopo Kampung Ambarukmo, Gowok, Depok Sleman, Sabtu malam (3/12), Ikatan Mahasiswa Muhammadiyah (IMM) Sleman dan Social Movement Institute (SMI) mengadakan nonton bareng dan diskusi film ‘Jakarta Unfair’. Puluhan mahasiswa, lembaga pers dan masyarakat setempat berbaur dalam diskusi santai di lesehan rakyat itu.

Jakarta Unfair merupakan sebuah film dokumenter berdurasi 53 menit yang dikerjakan oleh 16 mahasiswa Universitas Indonesia (UI), Universitas Islam Negeri (UIN) Jakarta, dan Universitas Multimedia Nusantara (UMN). Karya ini didukung penuh oleh WatchDoc yang sebelumnya sukses dengan film bernuansa kritik sosial, ‘Rayuan Pulau Palsu’ dan ‘Belakang Hotel’.

Film ini mencoba menguak fakta di balik ‘pembangunan’ Jakarta. Data dari LBH Jakarta menyebutkan, ada sekitar 113 penggusuran pada tahun 2015 yang dilakukan dengan dalih ‘penertiban dan pembangunan’. Penggusuran yang kebanyakan dilakukan secara sepihak itu telah merugikan setidaknya 8.315 kepala keluarga dan 600 unit usaha.

Sementara penggusuran yang sedang dan akan terus dilakukan di tahun 2016, sebagaimana pernah dikatakan oleh Gubernur Ahok, mencapai 325 lokasi. Perinciannya adalah 55 lokasi berada di Jakarta Barat, 54 lokasi di Jakarta Utara, 57 lokasi di Jakarta Pusat, 77 lokasi di Jakarta Selatan, dan 82 lokasi di Jakarta Timur (Republika, 28/6/2016).

Rata-rata penggusuran yang dilakukan Ahok terhadap warga miskin, menggunakan instrumen kekerasan. Menihilkan aspek sosio-historis kemanusiaan. Ribuan petugas gabungan dikerahkan untuk menghadapi rakyat yang tak berdaya. Dari 113 kasus penggusuran, 65 kali TNI terlibat dalam penggusuran tersebut, (Tempo, 19/8/2016).

Film ini mencoba untuk menyuarakan isi hati korban penggusuran secara apa adanya. Para pembuat film berbulan-bulan melakukan live in dan wawancara lapangan. Tersebar mulai dari Bukit Duri, Kampung Baru Dadap, Kampung Akuarium, hingga rusunawa relokasi korban-korban penggusuran. Selama ini suara korban penggusuran tenggelam dalam arus media utama yang membangun frame sesuai dengan opini pemerintah. Dalih kepentingan bersama sebagai alasan klasik untuk melegalkan penggusuran, terutama dalam menghadapi banjir.

Sesuai dengan judulnya, film yang disutradai oleh Ndy Anastasia dan Dhuha Ramadani ini mencoba untuk menunjukkan fakta pembangunan Jakarta. Apakah semua yang dilakukan selama ini telah sesuai dengan prinsip keadilan? Seberapa fair-kah pemerintah kepada rakyatnya yang lemah? Mengapa rakyat kecil selalu menjadi korban di balik semua kebijakan untuk ‘pembangunan’?

Pendiri WhacthDoc, Dandhy Dwi Laksono menyatakan bahwa film dokumenter ini mencoba untuk menunjukkan logika penting, bahwa penggusuran bukan semata soal pindah tempat tidur. Karena bagi mereka yang menjadi korban penggusuran sudah terbiasa tidur di mana saja, bahkan di kolong jembatan. Hal itu biasa saja dan tidak pernah menjadi persoalan besar. Yang menjadi masalah adalah keberadaan rusun yang disediakan pemerintah dengan jarak yang sangat jauh dari ekosistem mereka sebelumnya telah ikut mematikan sumber ekonomi.

Film ini ikut menyertakan cuplikan perkataan langsung mantan Gubernur DKI Jakarta, Joko Widodo. “Bahwa yang namanya tergusur itu sangat sakit sekali,” tutur Jokowi ketika musim kampanye Pilgub 2012 lalu. Senada, Basuki Tjahaja Purnama alias Ahok dalam film ini juga menegaskan tentang ide Jakarta baru yang manusiawi. “Jakarta Baru yang modern, tertata rapi tetapi manusiawi, karena Jakarta Baru, yang dibangun adalah manusianya.” Di sinilah terjadinya fasis atau pengkhianatan terhadap janji manis dalam kebijakan para penguasa di kemudian hari.

Dalam forum yang berlangsung dua jam lebih, pemantik diskusi, Bachtiar Dwi Kurniawan alias Gus Bah menyatakan bahwa apa yang dilakukan pemerintahan sekarang telah menyalahi cita-cita founding father. Gus Bah mengajak untuk mencermati lirik lagu Indonesia Raya berikut ini; //…Bangunlah jiwanya. Bangunlah badannya. Untuk Indonesia raya…//

Menurut Bachtiar, lirik lagu itu mengindikasikan bahwa pembangunan yang seharusnya dilakukan pemerintah lebih memprioritaskan pada pembangunan jiwa, mental, karakter dan etos. Sementara pembangunan fisik dan infrasuktruktur bisa dilakukan dengan mudah ketika jiwanya telah dibenahi. “Infrastruktur itu penting, tetapi lebih penting membangun mental. Bangun jalan, jembatan itu gampang,” ujarnya.

“Prioritas pembangunan Jokowi kok berbeda dengan jargon yang dulu dengan revolusi mental. Padahal membangun fisik itu cepat dan cepat hancur juga. Tapi bagaimana membangun akhlak, moral, etos, disiplin, itu tidak gampang,” tutur sekretaris Majelis Pemberdayaan Masyarakat PP Muhammadiyah itu..

Dia mencontohnya, bangsa Indonesia yang terkenal sebagai bangsa yang religius, tetapi angka korupsi dan tindakan amoral lainnya sangat sering terjadi. Di Asia Timur, jika ada pejabat publik yang melakukan tindakan cacat moral, maka akan segera mengundurkan diri, namun di Indonesia tidak. Justru ia ‘terpilih’ kembali. “Ini masalah mental, karakter,” kata Bachtiar.

Bachtiar juga menegaskan bahwa persoalan relokasi atau pemindahan manusia tidak bisa dilakukan secara tiba-tiba dan tanpa perencanaan yang matang. “Proses memindahkan manusia tidak gampang. Tidak seperti memindahkan barang. Manusia itu makhluk historis, sosiologis, religius dan lain-lain. Ia menyatu. Pemerintah sering mengabaikan aspek atau pendekatan sosiologis dan antropologis ini,” ujarnya.

Menurut Gus Bah yang perlu dilakukan sekarang adalah mengubah minset pemerintah tentang pembangunan. Sehingga pembangunan tidak mengabaikan aspek kemanusiaan. Jika memang pemindahan terpaksa dilakukan sebagai solusi terakhir ketika sudah bisa lagi dilakukan penataan, maka harus dilakukan secara bijak. Bahwa sebelum memindahkan atau menertibkan, pemerintah perlu untuk menyiapkan ekosistem dan memberikan kemudahan di masa transisi. Tentu sebelumnya telah melakukan perencanaan yang matang dengan menepati tiga prinsip pembangunan, yaitu keadilan, berkelanjutan, dan berwawasan lingkungan.

Di akhir, Bachtiar mengingatkan para peserta untuk ikut terlibat dalam mencari solusi. “Film ini mengajak untuk keberpihakan pada kaum yang tertindas,” katanya. Di dunia ini, kata Gus Bah, akan selalu ada kaum yang ditindas dan penindas, tinggal kita memilih untuk berada di belakang orang-orang yang tertindas.

Terutama bagi mahasiswa aktivis, Bachtiar mengingatkan supaya tidak menjadi elit intelektual yang tidak berbuat apa-apa ketika melihat kaum tertindas, kaum marjinal dan dimarjinalkan oleh sistem. Para mahasiswa harus melakukan peran-peran kenabian di saat melihat ketertindasan. “Nabi itu sangat cinta orang miskin, ingin masuk surga bersama orang miskin. Namun nabi sangat anti kemiskinan. Nabi itu pejuang orang miskin,” paparnya (Ribas).

Exit mobile version