NUSA DUA, Suara Muhammadiyah – Cendekiawan muslim Prof Azyumardi Azra mengingatkan semua umat beragama untuk menjaga sensitivitas dalam mengekspresikan ritual keagamaan. Terlebih di tengah kondisi kemajemukan Indonesia. Semua pihak harus saling bertenggang rasa dan saling menahan diri.
“Saya melihat sering kali ada tensi ketegangan, konflik antarumat beragama, karena kurangnya sensitivitas kedua belah pihak. Harus sama-sama sensitif, tenggang rasa, dan menahan diri,” tuturnya di sela-sela acara Seminar Internasional tentang Islam, Demokrasi dan Tantangan Pluralisme dan Demokrasi, di Nusa Dua, Bali, Rabu (7/12).
Dalam menjalankan ajaran agama, kata Azyumardi, semua pihak harus menjalankannya dengan sebaik-baiknya dengan tetap menghormati pihak yang berbeda. Sehingga tidak menjalankan agama secara ekstrem, baik ektrem kiri maupun kanan. “Melaksanakan ajaran agama itu jangan terlalu menyala-nyala,” katanya.
Menurut Azyumardi, setiap orang boleh meyakini dan melaksanakan keyakinan agamanya. Hanya saja yang harus diingat tidak ada agama yang monolitik di dunia, apakah itu Islam dan juga Nasrani. Perbedaan tidak bisa dinafikan. Oleh karena itu, selalu dibutuhkan sensitivitas. “Kalau kita tidak sensitif, sikap seperti itu dapat menyinggung pihak luar atau pun dalam kelompok agama itu sendiri,” kata Azyumardi.
Terkait dengan kasus di Sabuga Bandung, Azyumardi menyatakan bahwa hal itu seharusnya tidak perlu terjadi. “Pembubaran acara Kebaktian Kebangunan Rohani yang digelar di Gedung Sabuga, Jalan Taman Sari, Kota Bandung, dengan menghadirkan Pendeta Stephen Tong, seharusnya tidak perlu terjadi,” ujarnya.
Kejadian itu telah menyalahi watak dasar warga Indonesia yang toleran dan menyelesaikan permasalahan dengan musyawarah. “Kejadian di Sabuga dikhawatirkan akan menjadi pemberitaan yang merusak citra Indonesia di mata internasional,” ungkapnya.
Seperti diketahui, acara Kebaktian Kebangunan Rohani yang digelar di Gedung Sabuga dengan menghadirkan Pendeta Stephen Tong itu terpaksa berakhir dini, Selasa malam (6/12) karena diinterupsi massa dari kalangan ormas tertentu.
Kelompok yang menamakan dirinya Pembela Ahlus Sunnah itu memaksa panitia pelaksana mengakhiri acara dengan alasan kebaktian harus digelar di gedung gereja, bukan di tempat umum. Gedung Sabuga sendiri ada di dalam kompleks Kampus ITB Bandung (Ribas).