Tantangan Pengeloaan Arsip Muhammadiyah

Tantangan Pengeloaan Arsip Muhammadiyah

Oleh: David Efendi*

Muhammadiyah dikembalikan sebagai gerakan sosial keagamaan dengan wajah Islam berkemajuan. Karakter berkemajuan mensyaratkan gerakan keilmuwan yang sangat kuat yang ditopang oleh tradisi riset, documentasi, arsip, yang itu bermuara pada produksi dan reproduksi ilmu pengetahuan dan teknologi untuk sebesar besarnya kehidupan manusia.

Tulisan ini akan saya awali dengan kutipan seorang intelektual Muhammadiyah yang ia posting di facebook beberapa hari lalu. Demikian ia menuliskan kegelisahan sekaligus harapannya:

“Semoga arsip Muhammadiyah yang masih disimpan oleh person-person atau cabang/ranting/daerah bisa segera bisa dikumpulkan atau disalin oleh Majelis Pustaka Informasi PP Muhammadiyah sebagai lembaga yang paling otoritatif terkait kearsipan Muhammadiyah. Tahap berikutnya segera diserahkan ke ANRI agar bisa diolah dan dirawat dengan baik, juga tentunya bisa diakses oleh siapapun yang ingin tahu tentang perjalanan Muhammadiyah sejak 1912.”

Status ini sangat menarik setidaknya karena mewakili kegelisahan banyak peminat literatur Muhammadiyah atau arsip, juga mewakili permasalahan yang ada di banyak lembaga dimana dokumen, arsip, buku, barang berharga yang seharusnya berada di kantor atau tempat asalnya, tetapi dipulangkan ke Rumah/ke personal sehingga tak lagi dapat diakses secara luas oleh masyarakat. Saya kira ini persoalan terbesar bangsa kita sehingga kita seringkali gagal menghargai sejarah kita sendiri. Saya beberapa kali mendengar keluhan seorang birokrat dari BPAD yang mengeluhkan betapa sulit membujuk person-person yang membawa dokumen berharga perpustakaan atau kantor arsip daerah.

Mengurus arsip dan dokumen itu pasti tidak kalah sulit dari mengurus bencana atau mengatur startegi perang antar Negara. Mengurus arsip mempunyai tantangan yang sangat berat bukan hanya pada persoalan finansial, tetapi juga persoalan mental. Terlebih, jika mendokumentasikan pengetahuan ini dilakukan oleh lembaga keagamaan atau organisasi non-negara, tentu saja, kesulitan itu menjadi persoalan keseharian.

Dari beberapa diskusi beruntun yang saya ikuti di forum Majelis Pustaka dan informasi PP Muhammadiyah setidaknya ada 4 tantangan utama di dalam menyelenggarakan kerja-kerja kearsipan dan dokumentasi untuk mendukung keberadaan sumber pengetahuan yang komprehensif.

pertama, tantangan mentalitas kearsipan. Sebagaimana persoalan yang dikutip dalam status facebook di atas. Ada persoalan serius mengenai penghargaan arsip dan dokumen oleh masyarakat dan pimpinan. Tidak sedikit warga Muhammadiyah yang masih belum memandang urgent pekerjaan ini dan juga tidak sedikit jumlah pimpinan institusi pendidikan atau secara umum Muhammadiyah yang kurang menghargai pekerjaan arsip dan dokumen yang fungsional—sekedar arsip itu seperti rutinitas biasa. Bagaimana dengan upaya menjaidkan arsip bermakna, mendukung riset, dan juga mendukung kultur literasi di kalangan masyarakat luas baik dalam maupun luar negeri. Ini akan menjadi kebangaan jika Muhammadiyah menjadi pintu masuk utama orang “asing mengenal Indonesia–mengenal baik Muhammadiyah, artinya mengenal Indonesia.

Kedua, persoalan-persoalan terkait sumber daya manusia. sebenarnya ini bukan soal incapacity tetapi soal managerial—bagaimana urusan arsip juga ditempati oleh orang-orang yang pas dan atau penekanana pada right man in the right place. Selama dunia arsip dan dokumen menjadi wilayah tak penting atau istilah kejamnya wilayah ‘pembuangan’ atau Dinas/badan “tidak basah” dalam terminologi birokrasi pemerintahan, maka dunia ini akan terus menerus mengalami kegelapan. Dan semakin berat untuk melakukan inovasi atau sekedar revitalisasi. Muhammadiyah, melalui MPI, punya kesempatan sangat besar untuk merekontruksi sejarah keunggulan dan kemajuan bangsa di berbagai bidang kehidupan. SDM Muhammadiyah harus menjadi bahan bakar kebabgkitan Islam dengan karakter unggul, maju, Mandiri, berdaya saing dunia.

Harus Ada kekuatan struktur bergerak misalnya bagaimana PTM/PTA mempunyai kewajiban membina arsip dan dokumen pada Pimpinan/kantor-kantor Muhammadiyah di wilayahnya masing masing (PWM,pdm, pcm, PRM, dll). Secara SDM dan finansial, perguruan tinggi Muhammadiyah yang paling memungkinkan tata kelola arsip dapat optimal dilakukan.

Ketiga, hambatan IT. Teknologi sudah tersedia tetapi tidak dimanfaatkan secara optimal. Ini persoalan paling mendasar. Benar kata Erich Fromm, buta huruf hari ini bukan orang yang tak bisa membaca tetapi tak dapat mendayagunakan teknologi informasi dan pengetahuan di dalamnya. Ini mengilustrasikan bagaimana kita terpuruk dalam pengetahuan di tengah Banjir informasi dan kemudahan teknologi. Tentu nya, kita harus membalik keadaan paradoks ini dengan memperkuat basis basis pengetahuan: arsip dan dokumen.

Terakhir, adalah soal leadership. Seperti point pertama, dibutuhkan orang-orang ‘gila’ untuk memimpin jalannya jihad kearsipan atau jihad literasi ini. Tanpa orang gila, dunia kearsipan hanya akan biasa-biasa saja dan orang-orang waras hanya bisa menyukuri kewarasan tanpa tahu apa arti dan makna menjadi waras di tengah peradaban yang terus bergerak.

Harapan itu adalah nafas pembaharuan. Kerja-keraj kearsipan yang dilakukan oleh Muhammadiyah harus menjadi bagian dari jihad pembaharuan sebagaimana yang pernah disampaikan oleh Prof dadang Kahmad, “Kerja MPI adalah jihad literasi, jihad digital, dan jihad kearsipan.” Butuh kesungguhan dan nafas panjang untuk membuktikan watak berkemajuan dan modern yang dimiliki oleh Muhammadiyah.

Semoga tulisan ini turut menjadi bagian dari energi penyemangat untuk jihad kearsipan di hari hari yang akan datang. akhirnya, selamat berjihad, dan bergembira.

______

*Penulis adalah Anggota MPI PP Muhammadiyah 

Exit mobile version