YOGYAKARTA, Suara Muhammadiyah-Nama ‘Klithih’ kembali menjadi perbincangan publik Yogyakarta. Sekumpulan remaja yang kerap melakukan tindakan kekerasan itu telah beberapa kali melakukan aksi brutal. Kasus terakhir, siswa SMA 1 Muhammadiyah Yogyakarta (MUHI), Adnan Wirawan Ardiyanta, yang menjadi salah satu korban kekerasan geng ‘Klitih’, akhirnya meninggal dunia. Korban mengalami tusukan di bagian perut hingga merobek ginjalnya.
Ketua Majelis Pustaka dan Informasi (MPI) PWM DIY, Robby Habiba Abror menyatakan rasa prihatin dengan aksi kekerasan yang terjadi di wilayah Yogyakarta belakangan ini. “Kekerasan itu bisa disebabkan oleh banyak hal, seperti dampak negatif mengakses tontonan kekerasan, pornografi, salah dalam pergaulan, bullying, watak agresi reaktif dan sikap brutal yang di antaranya terkadang malah dipelihara atau diciptakan bahkan sejak kecil di lingkungan tertentu,” ujarnya.
Kekerasan, kata Robby, juga dapat terjadi karena ketidakberdayaan seseorang dalam mengatasi masalahnya sendiri. Gagal memahami kemajuan atau perbedaan di luar diri atau kelompoknya, dan menolak nilai-nilai moral.
“Kekerasan bisa terjadi kapan saja dan di mana saja dengan maksud dan tujuan atau motif yang bermacam-macam pula, bisa agama, politik, ideologi, ekonomi, ataupun budaya,” tutur ketua prodi Filsafat Agama UIN Sunan Kalijaga itu.
Menurutnya, tindakan menghilangkan nyawa seseorang itu, dalam bahasa agama, sama dengan membunuh seluruh umat manusia dan melenyapkan masa depan serta harapan-harapan mereka. “Maka pantas dihukum secara tegas dan seadil-adilnya,” ujarnya. Bahkan bisa melalui hukumam qishash.
Sebagai solusi jangka panjang, Robby menyatakan perlu multi pendekatan untuk mengatasi aksi barbar dan tidak berperikemanusiaan ini. Pertama, para pemangku kekuasaan berkomitmen untuk menegaskan bahwa bikin onar dan rusuh harus dihukum seberat-beratnya, apalagi sampai jatuh korban jiwa meninggal dunia. Dengan agama, bisa mulai diajukan hukuman qishash. Dengan teknologi, dapat memperbanyak cctv seperti dilakukan di banyak kota besar di luar negeri sehingga aparat dapat bertindak preventif dan tangkas.
Selain itu juga perlu melarang siswa menjadi anggota geng di semua sekolah dan memberi sanksi sangat keras bagi yang terlibat. Untuk hal ini kepala sekolah, guru dan siswa sekolah harus dijamin keselamatannya oleh pihak kepolisian. Karena selama ini banyak yang mengeluh mendapatkan ancaman tapi tidak berani melaporkan.
“Pemerintah provinsi dan daerah harus mulai berani menegakkan peraturan syariah tentang haramnya miras, narkoba dan tempat-tempat maksiat yang makin menjamur di Yogyakart. Ini jika ingin berniat benar-benar mencintai anak-anak bangsa ini dan masa depan mereka,” tutupnya (Ribas).