YOGYAKARTA, Suara Muhammadiyah- Islam telah masuk ke Nusantara melalui jalur perdagangan yang damai. Menurut Prof Khairuddin Aljunied, Phd, Islam yang berkembang di Nusantara atau Asia Tenggara lainnya adalah Islam yang Kosmopolitan. Hal ini menurutnya, jelas sangatlah berbeda dengan apa yang biasa tekankan oleh penulis orientalis tentang Islam di nusantara di dalam publikasi-publikasinya.
“Islam di Nusantara bukan Islam radikal, tapi sangat kosmopolitan,” tuturnya saat membedah kedua bukunya yang berjudul Reformisme Islam di Nusantara dan Muslim Cosmopolitanism: Southeast Asian Islam in Comparative Perspective, di Ruang Sidang Pascasarjana UMY, Rabu (21/12).
Penulis yang merupakan seorang Associate Professor di National University of Singapore menjelaskan bahwa karakteristik Kosmopolitan yang dimaksud adalah bahwa Muslim di Indonesia mampu menerima keberadaan kalangan non-Muslim dengan baik.
Di dalam Buku Muslim Cosmopolitanism yang akan diterbitkan dalam versi bahasa Indonesia oleh Suara Muhammadiyah pada 2017 mendatang, Aljunied pun memberi gambaran bagaimana Muslim Indonesia mampu berinteraksi dengan seluruh kalangan ketika berada di ‘pasar’. Islam di Indonesia pun dinilai memberi lebih banyak kebebasan kepada perempuan dari apa yang kita lihat di negara-negara Timur Tengah.
“Buktinya, kita masih bisa melihat Borobudur dan Prambanan di Indonesia. Jika di Afganistan atau di Suriah jelas sudah hancur. Buktinya, yang terjadi di pasar laki-laki dan perempuan bisa berinteraksi dengan baik tanpa dipermasalahkan,” tuturnya.
Lebih jauh, Aljunied menjelaskan bahwa yang ingin disampaikannya lewat buku Muslim Cosmopolitanism adalah reaksinya terhadap berbagai kajian telah ditulis oleh peneliti-peneliti di luar ataupun di dalam tentang Islam di Nusantara. Menurutnya, selama ini pengkajian Islam Nusantara masih terpengaruh pandangan orientalisme.
“Mereka berbicara bahwa Islam di Asia Tenggara sangat rentan terhadap kekerasan dan konflik. Beberapa topik yang sering mereka angkat untuk merefleksikan Islam Indonesia adalah terorisme dan radikalisme,” tuturnya.
Aljunied pun menyebutkan sejumlah konsekuensi dari pengaruh orientalisme dalam kajian Islam di Nusantara adalah anggapan bahwa pada akhirnya, Muslim dianggap tidak mampu berinteraksi dengan baik dengan komunitas minoritas atau non-Muslim. Sehingga, sekularisasi menjadi salah satu yang ditawarkan jika ingin memajukan Islam di Nusantara.
“Ini adalah karakteristik yang paling berbahaya dari pengaruh orientalisme dalam kajian Islam Nusantara,” lanjutnya.
Padahal, ada banyak pengkaji Islam orientalis yang memiliki pandangan objektif dan simpatik terhadap Islam namun suara mereka selalu ditenggelamkan oleh mereka yang ingin menjelekkan citra Islam.
Sedangkan tantangan yang dihadapi oleh pengkaji Islam di Indonesia menurut Aljunied di antaranya adalah bahwa peneliti Islam dari dalam Indonesia sendiri dalam kajiannya selalu berpikir secara empiris, dan melupakan perspektif konseptual dan teoretis.
“Sering kali peneliti Indonesia, mengkaji tentang Islam Indonesia hanya untuk Indonesia, dan tidak mengandung gagasan yang lebih besar. Sedangkan Barat lebih mengutakamakan gagasan yang lebih universal dan relevan untuk diaplikasikan di berbagai kasus. Banyak yang berlaku di Indonesia juga berlaku di negara-negara lainnya,” katanya.
Tantangan lain yang dihadapi adalah bahwa pengkaji Islam Indonesia sering menghadapi permasalahan madzhabi dalam kajiannya. Selain itu, pengkaji Indonesia selama ini cenderung hanya melihat problem dalam negerinya atau Indonesia saja dan belum banyak yang menyajikan kajian Islam Nusantara atau dalam cakupan yang lebih besar yaitu Asia Tenggara.
“Hanya dua pengkaji yang mampu menyajikan perspektif yang komprehensif terhadap Islam Nusantara yaitu Buya Hamka dan kedua Azyumardi Azra,” tandasnya.
Hadir dalam acara bedah buku tersebut, aktivis kemanusiaan dan kebencanaan Rahmawati Hussein, Phd beserta Pengamat Islam Asia Tenggara Dr Hilman Latief, Phd (Th).