Hari Ibu (22 Desember) merupakan buah dari keputusan Kongres Perempuan III yang diselenggarakan pada tahun 1938 di Bandung. Penetapan tanggal 22 Desember sebagai Hari Ibu untuk memperingati momentum bersejarah pada 88 tahun silam, ketika kaum perempuan bumiputra berhasil menggelar Kongres Perempuan I pada tahun 1928 di Pendopo Joyodipuran, Mataram (Yogyakarta). Momentum kebangkitan kaum perempuan bumiputra yang dinilai sukses di mata pemerintah kolonial ini ternyata masih banyak yang belum diungkap. Salah satu persoalan penting dalam keberhasilan Kongres Perempuan I adalah peran Aisyiyah, organisasi sayap Muhammadiyah, yang turut menyukseskan momentum bersejarah ini.
Kongres Perempuan I
Kongres Perempuan I sukses diselenggarakan di Pendopo Joyodipuran, Mataram (Yogyakarta), pada tanggal 22-25 Desember 1928. Mengapa momentum bersejarah ini digelar di Yogyakarta? Hampir tidak ada sejarawan nasional yang mampu menjawabnya. Susan Blackburn (2007), peneliti asal Australia, mencoba berspekulasi untuk menjawab pertanyaan ini. Pelaksanaan Kongres Perempuan I digelar di Yogyakarta karena memang para tokoh inisiator dan panitia penyelenggaranya asli warga setempat. Argumentasi semacam ini memang cukup logis, tetapi peneliti Monash University (Melbourne) ini lupa membaca peta politik pergerakan nasional di Yogyakarta ketika kongres ini digelar.
Kongres Perempuan I diselenggarakan 20 tahun pasca lahir Boedi Oetomo (22 Mei 1908) di kampus STOVIA di Weltevreden. Momentum bersejarah ini digelar sekitar dua bulan pasca peristiwa Kongres Pemuda pada 28 Oktober 1928 di Batavia. Kelahiran Boedi Oetomo (BO) telah menginspirasi gerakan kaum bumiputra, terlebih-lebih ketika beberapa perkumpulan pemuda di tanah air bersatu pada 28 Oktober 1928 membuahkan Sumpah Pemuda. Yogyakarta (Mataram) merupakan kota yang langsung menyambut baik gerakan kebangkitan kaum bumiputra. Kondisi sosial-politik di Yogyakarta memang sangat memungkinkan untuk melahirkan gerakan-gerakan revolusioner. Kelahiran organisasi-organisasi bumi putra di Yogyakarta bagaikan jamur di musim hujan. Masing-masing organisasi memiliki organ surat kabar sebagai corong perjuangan.
Organisasi-organisasi bumiputra yang lahir di Yogyakarta, seperti Mardi Kiswa (1900), Muhammadiyah (1912), Taman Siswa (1922), Personeel Fabriek Bond (PFB) dan Arbeidsleger (Tentara Buruh) Adi-Dharma, Perserikatan Personeel Pandhuis Bond (PPPB), dan lain-lain. K.H. Ahmad Dahlan dengan Muhammadiyah-nya mampu menjadi kekuatan baru gerakan Islam modernis di tanah air. Ki Hajar Dewantara dengan Taman Siswa-nya berhasil merintis gerakan pendidikan kaum bumiputra. Soerjopranoto, kakak kandung Ki Hajar Dewantara, bersama Haji Fachrodin (Muhammadiyah) berhasil menggerakkan kaum buruh lewat PFB dan Arbeidsleger Adi-Dharma (Takashi Shiraishi, 2005).
Organisasi-organisasi bumiputra yang tidak lahir di Yogyakarta, tapi tumbuh subur di bumi Mataram adalah, Boedi Oetomo (BO), Sarekat Islam (SI), Indische Sociaal Democratische Vereniging (ISDV), Inlandsche Journalisten Bond (IJB), dan lain-lain. Wahidin Sudiro Husodo dengan BO-nya telah mengawali gerakan intelektual baru. Tjokroaminoto dengan SI-nya, ketika kantor dagelijksche bestuur (pimpinan harian) CSI dipindah ke Yogyakarta, mengubah bumi Mataram menjadi pusat pergerakan nasional. Haji Fachrodin dengan IJB dan ISDV-nya, mampu mengubah wajah Yogyakarta menjadi medan revolusi.
Ketika kantor pimpinan harian CSI pindah ke Yogyakarta (sekitar 1924-1925) membuktikan bahwa kota ini memang sangat strategis sebagai pusat pergerakan nasional. SI memang lahir di Solo pada tahun 1911, tetapi tumbuh subur di Yogyakarta. Dalam congres SI tahun 1914 di Yogyakarta, K.H. Ahmad Dahlan mendapat posisi kehormatan sebagai adviseur (penasehat) organisasi ini (Deliar Noer, 1996: 119). Kenyataan ini menunjukan bahwa Yogyakarta memang memiliki peran strategis dalam proses pertumbuhan organisasi-organisasi bumiputra. Faktor pertumbuhan organisasi-organisasi bumiputra yang begitu subur di Yogyakarta inilah yang memungkinkan untuk menjawab pertanyaan, mengapa Kongres Perempuan I digelar di Yogyakarta. Kalau toh para inisiator dan panitia penyelenggaranya berasal dari Kota Gudeg, maka itu hanya faktor kebetulan saja.
Peran ‘Aisyiyah
Salah satu pertanyaan yang luput dari pengamatan Susan Blackburn adalah peran Aisyiyah dalam Kongres Perempuan I. Dalam dokumen surat kabar Isteri pada edisi congresnummer (Mei 1929), Aisyiyah adalah organisasi perempuan yang menduduki nomor urut perdana sebagai anggota kongres. Memang R.A. Sukonto yang menjabat sebagai ketua panitia kongres, sementara Siti Munjiyah, utusan Aisyiyah, duduk sebagai wakil ketua. Tetapi menurut Susan Blackburn, penunjukan R.A. Sukonto sebagai ketua karena faktor kharisma untuk mengangkat dan melegitimasi kongres. Jika benar analisis Blackburn, maka posisi Siti Munjiyah sebagai wakil ketua semakin membuka penafsiran baru terhadap peran ‘Aisyiyah dalam Kongres Perempuan I.
Dalam dokumen photo-photo Kongres Perempuan I, terutama pada sesi rapat, tampak Siti Munjiyah duduk di tengah, berdampingan dengan R.A. Sukonto. Dokumen surat kabar Isteri edisi congresnummer menyebutkan bahwa Siti Munjiyah menyampaikan pidatonya setelah R.A. Sukonto. Siti Munjiyah menyampaikan pidato dengan gaya seperti seorang muballighat menyampaikan khutbah dengan tema “Derajat Perempuan.” Tema yang cukup menonjol dan sempat menjadi perdebatan panas ketika Munjiyah menyampaikan pandangan agama Islam terhadap hak-hak perkawinan (lihat Soeara Moehammadijah no. 5 dan 6 Th. XI/Agustus 1929). Nyonya Toemenggoeng, utusan pemerintah kolonial yang turut menyaksikan jalannya kongres melukiskan suasana ketika Munjiyah berpidato. Siti Sundari, utusan Poetri Indonesia, menginterupsi kongres dan menuduh Munjiyah sebagai pendukung standar ganda untuk kaum perempuan dan laki-laki (Susan Blackburn, 2007: xxxviii).
Selain peran Siti Munjiyah sebagai wakil ketua kongres, utusan Hoofdbestuur (HB) Aisyiyah yang menjadi panitia adalah Siti Hayinah. Dalam kesempatan ini, Hayinah menyampaikan pidato dengan tema “Persatuan Manusia” yang menurut penilaian Blackburn terlalu umum dan tidak memiliki gagasan strategis. Selain utusan HB Aisyiyah, aktivis Siswa Praja Wanita (SPW—cikal bakal Nasyi’atul Aisyiyah), organisasi sayap Aisyiyah junior, juga sangat menentukan dalam memeriahkan kongres ini. Disebutkan dalam surat kabar Isteri edisi congresnummer bahwa aktivis SPW yang khas memakai kerudung putih memeriahkan acara dengan menyanyi dan pentas teater.
Dengan membaca fakta-fakta sejarah Kongres Perempuan I yang melibatkan tokoh-tokoh Aisyiyah, dari jajaran HB Aisyiyah sampai organisasi sayap Aisyiyah junior (SPW), dan proses penyelenggaraannya yang memilih tempat di Yogyakarta (tempat lahir Muhammadiyah dan Aisyiyah), memungkinkan untuk memberikan penafsiran baru bagi para peneliti atau sejarawan di tanah air. Fakta-fakta tersebut jelas bisa membuka jalan untuk penafsiran lebih atas peran Aisyiyah dalam pelaksanaan Kongres Perempuan I yang dinilai sukses oleh pemerintah kolonial. Momentum ini pula yang kemudian diabadikan dalam Kongres Perempuan III di Bandung (1938) sebagai peringatan Hari Ibu. (Mu’arif)