YOGYAKARTA, Suara Muhammadiyah– Islam merupakan agama yang rahmatan lil ‘alamin. Paradigma itu diabadikan dalam al-Quran surat al-Anbiya ayat 107; Dan tiadalah Kami mengutus kamu, melainkan untuk (menjadi) rahmat bagi semesta alam.
Menurut wakil ketua Majelis Tarjih dan Tajdid PP Muhammadiyah, Hamim Ilyas, kata ‘rahmah’ dalam ayat tersebut bermakna sebagai perasaan lembut atau cinta yang mendorong untuk memberikan kebaikan nyata kepada yang dikasihi. Sesuai dengan arti rahmah yaitu ‘riiqqah taqtadhi al-insan ila al-marhum.’
Pengertian itu memberikan makna bahwa Islam adalah risalah yang mewujudkan kebaikan nyata bagi seluruh makhluk Allah. Kebaikan nyata dalam pengertian luas adalah hidup yang baik, yang diukur dengan tiga hal.
Ketiga indicator yang disebut dalam al-Quran itu yaitu pertama, lahum ajruhum ‘inda rabbihin atau sejahtera yang sesejahtera-sejahteranya. Kedua, wala khaufun ‘alaihim atau damai yang sedamai-damainya. Ketiga, wa lahum yahzanun atau bahagia yang sebahagia-bahagianya, baik di dunia maupun di akhirat.
“Karena itu dapat ditegaskan bahwa peradaban Islam Rahmatan lil ‘Alamin adalah kekayaan batin dan kecerdasan pikiran untuk mewujudkan hidup sejahtera, damai, dan bahagia bagi semua,” tutur Hamim Ilyas dalam salah satu sesi Seminar Nasional Seri Tadarus 3 ‘Al-Quran sebagai Pondasi Peradaban Islam Rahmatan Lil ‘Alamin’.
Acara itu diselenggarakan oleh Pusat Studi Islam (PSI) Universitas Islam Indonesia (UII) itu berlangsung di auditorium perpustakaan terpadu UII, Rabu (22/12).
Hamim mengingatkan bahwa umat Islam dalam QS Al-Baqarah ayat 143 disebut sebagai ummatan wasatha. Ummah bermakna sebagai kumpulan orang yang dihimpun oleh suatu ikatan berupa agama, waktu, dan tempat.
“Ummah dalam ayat itu menunjuk kepada kumpulan orang yang dihimpun oleh ikatan agama dan menjalankan peran atau tugas tertentu, yaitu litakunu syuhada’ ‘alan nas. Dengan tugas ini, kumpulan itu menjadi kelompok yang membentuk perikehidupan berbudaya dan dikenal dengan masyarakat,” ujarnya.
Adapun kata wasatha, kata Hamim adalah tengah, adil, dan pilihan. Artinya, ummatan wasatha adalah masyarakat yang tengahan dan adil, sehingga menjadi masyarakat pilihan. Adil atau tengahan di antara dua kutub ekstrim kiri dan kanan, kebudayaan materialisme dan spiritualisme.
Sebagai ummatan wasatha, ujar Hamim, umat Islam memiliki tugas yang berat, baik keluar maupun ke dalam. Tugas keluar (eksternal) yaitu memberi kesaksian bagi umat-umat lain yang mengakui keutamaan mereka pada hari kiamat.
“Di dunia, umat Islam sebagai ummatan wasatha memiliki tugas menjadi saksi sejarah atas masyarakat-masyarakat yang lain,” ujarnya. Tugas umat Islam adalah sebagai pelaku sejarah, baik dalam bidang ekonomi maupun industry. “Bukan hanya penonton orang-orang berbuat industry,” kata Hamim.
Dengan tugas itu, kata Hamim, umat Islam harus memahami realitas masyarakat lain secara objektif dan mengambil tanggung jawab sebagai konsekuensi atas status ummatan wasatha. “Apabila mereka melihat masyarakat lain rendah dan terbelakang, maka mereka memiliki tanggung jawab untuk mengangkat dan memajukannya,” tuturnya.
Sebaliknya, jika melihat masyarakat lain tinggi dan maju, maka umat Islam pun harus mengakui ketinggian dan kemajuan itu dengan konsekuensi bersedia mengambil pelajaran dari kemajuan yang mereka saksikan. Menurut Hamin, masyarakat berbeda tidak cukup hanya saling menyapa, tapi harus hidup bersama dan saling belajar (Ribas).