Ekstremisme Muncul Sebagai Konsekuensi Dilupakannya Konsep Wasathiyah

Ekstremisme Muncul Sebagai Konsekuensi Dilupakannya Konsep Wasathiyah

YOGYAKARTA, Suara Muhammadiyah-Salah satu penyebab atau konsekuensi terhadap dilupakannya konsep wasathiyah atau tengahan dalam seluruh aspek kehidupan menurut salah satu ulama terkemuka Indonesia yaitu Buya Hamka adalah munculnya ekstremisme. Di samping itu, ekstremisme yang sering kali muncul tersebut juga disebabkan karena pemikiran-pemikiran Islam Indonesia belum mampu menembus hingga tatanan grass root.

“Wasathiyah adalah salah satu aspek tamaddun (peradaban) Islam yang seringkali dilupakan oleh umat Islam itu sendiri. Menurut Hamka, tamadun Islam itu adalah tamaddun wasathiyah,” ungkap Prof Khairuddin Al-Junied Associate Professor National University of Singapore dalam diskusi rutin bersama redaksi Suara Muhammadiyah, Jum’at (23/12).

“Dilupakannya konsep wasathiyah dalam berbagai aspek kehidupan umat Islam telah melahirkan ekstremisme. Hamka telah berbicara hal ini sejak 60 tahun yang lalu, namun hari ini masih tetap ada,” lanjutnya.

Namun, di lain sisi, Aljunied menyebutkan bahwa selain religious extremism atau ekstremisme agama yang juga berbahaya dan harus diwaspadai adalah Secular Extremism. Di mana agama dikatakan tidak lagi mempunyai tempat di dalam kehidupan manusia.

“Hamka juga mengatakan bahwa bukan hanya religious extremism yang penting untuk kita waspadai namun juga yang juga berbahaya yaitu secular extremism,” lanjutnya.

Baca juga: Ikhtiar Menjadi Umat Moderat

Lebih jauh, Aljunied menyebutkan bahwa Hamka menjelaskan akan penyebab semakin meluasnya sekularisme di kalangan umat Islam pada di kala zamannya adalah karena maraknya literature Barat yang dibaca tanpa adanya filter. Sedangkan di era terkini, semakin terbukanya akses informasi salah satunya dengan keberadaan internet, menyebabkan generasi muda banyak mempelajari Islam secara mandiri melalui dunia maya.

“Di zaman kita ada yang disebut dengan Syaikh Google. Secular Extremism ada karena keberadaan internet. Dengan mempelajari Islam melalui dunia maya tanpa panduan orang tua mereka, mereka menyimpulkan berbagai hal, ini sangat berbahaya. Mereka tidak lagi akan melihat kita sebagai sumber belajar ajaran Islam,” katanya.

Hamka, terang Aljunied, menjelaskan bahwa dalam Secular Extremism mereka hanya bersandar kepada akal dan ilmu pengetahuan saja sebagai tolak ukur dalam melihat agama Islam.

“Hal ini ada di zaman Hamka dan juga di zaman kita. When science becomes god,” tukasnya.

Dalam diskusi yang mengangkat tema Hamka and Wasathiyah in the Islamic Civilization, Aljunied pun mengatakan bahwa yang menjadikan sosok Hamka sebagai pemikir yang wasathiyah bahkan kosmopolitan adalah kemampuannya dalam menyerap gagasan-gagasan dari berbagai pemikir termasuk dari cendekiawan barat dan filusuf Yunani.

Kiranya, 116 buku telah ditelurkannya dan ribuan tulisan dalam bentuk artikel milik Hamka telah dipublikasikan. Wasathiyah menurut Hamka bukan hanya dalam pemikiran tapi juga dalam segala hal. Beberapa katakter Wasathiyah menurut Hamka pun dijelaskan oleh Aljunied ke dalam 5 point utama yaitu; Wasatiyyah dalam pemikiran, Wasatiyyah dalam ranah ibadah, Wasatiyyah dalam hal persaudaraan, Wasatiyyah dalam Perlakuan terhadap Wanita dan Wasatiyyah dalam kepatuhan.

Baca juga: Ini Lima Konsep Wasatiyyah Hamka Menurut Professor NUS

“Oleh karena itu, penting sekali bagi kita untuk mengembalikan pemikiran wasathiyah. Di sinilah bagaimana peran Suara Muhammadiyah sebagai yang melahirkan pemikiran-pemikiran baru di nusantara ini. Termasuk bagaimana nantinya melestarikan pemikiran-pemikiran Hamka melalui cara yang berbeda,” tandasnya (Th).

Exit mobile version