YOGYAKARTA, Suara Muhammadiyah-Masyarakat Indonesia telah banyak melupakan sejarahnya. Meninggalkan khazanah ilmu pengetahuannya yang kaya-raya. Berbagai karya dan pemikiran serta kajian penelitian tentang para tokoh besar Indonesia, justru ditemukan di negeri seberang.
Associate Professor at the Department of Malay Studies, National University of Singapore (NUS), Prof Khairudin Aljuneid, menyatakan bahwa orang Indonesia mengalami native blindness. Yaitu sikap tidak bisa menemukan dan mengambil ide atau konsep pemikiran dari orang-orang Indonesia itu sendiri.
Salah satu tokoh besar itu adalah Prof Dr H Abdul Malik Karim Amrullah atau lebih dikenal dengan nama pena Hamka. “Hamka mereformasikan pemikiran muslim dan merekonstruksikan Islam di Nusantara,” tuturnya dalam diskusi dengan redaksi Suara Muhammadiyah, Jumat (23/12).
Pemikiran besar Hamka yang kemudian ditelusuri oleh Aljuneid terutama dalam perihal isu-isu perempuan, tasawuf, keadilan social, dan wasatiyyah (sikap tengahan). “Wasatiyyah adalah salah satu aspek tamaddun (peradaban) Islam yang seringkali dilupakan oleh umat Islam itu sendiri,” ujarnya.
Menurutnya, umat yang buta sejarah ini menjadi ekstrim radikal atau terlalu liberal sekular. Dalam kondisi seperti itu, Hamka adalah seorang yang mengambil jalan tengah. “Menurut Hamka, tamadun Islam itu adalah tamaddun wasatiyyah,” katanya.
Sejak dalam prosesnya mencari Ilmu secara otodidak, Hamka menunjukkan sifat wasatiyyahnya. “Dia dipengaruhi oleh semua pemikir. Hamka membaca semua buku, baik dari pemikir Barat maupun Timur,” katanya.
“Yang tidak wasatiyah menurut Hamka adalah yang tidak sesuai dengan al-Quran dan sunnah dan pendapat ulama,” tambahnya.
Konsep wasatiyah Hamka, kata Aljuneid bahkan diinspirasi dari konsep seorang filosof Barat, Plato, tentang moderation in all thing. “Sederhana dalam segala perkara diambil dari Plato. Ini hebatnya Hamka,” ujarnya.
Jika dijabarkan, konsepsi Hamka tentang wasatiyyah mencakup lima hal. Pertama, wasatiyyah in thought. Wasatiyyah dalam pemikiran. Wasatiyyah antara penggunaan aqal dan naqal. Tidak terlalu mengunggulkan akal dan tidak pula naqal.
Kedua, wasatiyyah in piety. Wasatiyyah dalam ranah ibadah. Tidak terlalu ekstrem, baik yang berujung pada sufi maupun salafi. Hamka tidak menuhankan hukum legal dan tidak pula melebih-lebihkan spiritualitas. Sehingga dia laksana sufi yang aktivis.
Ketiga, wasatiyyah in brotherhood. Wasatiyyah dalam hal persaudaraan. Hamka tidak berlebihan sehingga menimbulkan sikap ta’asubiyah (primordial) atau menimbulkan perpecahan sektarian. Tetapi juga memiliki sikap loyalitas yang pada tempatnya. “Hamka menginginkan umat Islam harus bersatu,” tutur Aljuneid.
Keempat, wasatiyah in the treatment of women. Hamka memiliki konsep untuk mendudukkan posisi perempuan dalam posisi yang tepat dan seimbang antara sikap patriarkhi dan absolute equality. Perempuan tidak dijadikan sebagai makhluk di bawah laki-laki, tetapi juga tidak mutlak sama dengan kaum adam. Ada wilayah-wilayah tertentu yang kedua jenis kelamin ini harus saling bekerja sama dan melengkapi.
Menurut Aljuneid, konsep wasatiyah Hamka dalam hal kedudukan perempaun masih sangat relevan hingga hari ini. “Wanita lebih dieksploitasi di dunia modern dibanding dengan masyarakat tradisional,” ujarnya.
Kelima, wasatiyah in obidience. Wasatiyyah dalam kepatuhan bernegara. Ada sikap yang mutlak meniadakan sikap ‘protes’ kepada penguasa dan sebaliknya juga sikap mutlak ‘pemberontakan’ kepada pemimpin. Hamka mencoba mencari formulasi tengahan. “Boleh protes dan demonstrasi tapi dengan cara-cara yang baik,” ujar Aljuneid.
Aljuneid mengingatkan bahwa konsepsi wasatiyyah Hamka tersebut sangat penting bagi umat Islam. Jika lupa pada aspek wasatiyah ini, akan melahirkan secular extremism, yang hanya menuhankan akal dan science semata (Ribas).