Khairudin Aljuneid: Suara Muhammadiyah Harus Melahirkan Pemikiran Baru di Nusantara

Khairudin Aljuneid: Suara Muhammadiyah Harus Melahirkan Pemikiran Baru di Nusantara

Prof Khairudin Aljuneid berfoto bersama redaksi Suara Muhammadiyah

YOGYAKARTA, Suara Muhammadiyah-Associate Professor at the Department of Malay Studies, National University of Singapore (NUS), Prof Khairudin Aljuneid, menyatakan bahwa sebagian besar masyarakat Indonesia mengalami native blindness. Yaitu sikap tidak bisa menemukan dan mengambil ide atau konsep pemikiran dari para tokoh besar Indonesia itu sendiri.

Dalam diskusi dengan redaksi Suara Muhammadiyah, Jumat (23/12), Aljuneid membeberkan berbagai karya para tokoh besar Indonesia yang tidak diapresiasi. Tokoh-tokoh ulama Nusantara itu justru lebih dikenal dan dijadikan rujukan di luar negeri.

Kondisi ini menjadikan bangsa Indonesia hanya sebagai konsumen pemikiran-pemikiran luar. Padahal para tokoh ulama di masa lalu telah lebih dahulu menulis tentang permasalahan yang sama. “Orang luar melihat (ulama kita) begitu besar. Buku-bukunya banyak ditulis dalam bahasa Arab, saya harapkan Suara Muhammadiyah menerjemahkan dan menerbitkan kembali,” tutur Aljuneid.

“Kita harus menerjemahkan apa-apa yang ditulis orang Indonesia dalam bahasa Arab ke bahasa Indonesia dan yang dalam bahasa Indonesia ke bahasa Inggris,” katanya. Aljuneid beralasan bahwa karya dalam bahasa Inggris akan lebih banyak dan mudah diakses oleh siapapun. Terutama oleh kalangan akademisi.

Dalam rangka menemukan kembali khazanah Nusantara itu, Aljuneid bahkan menyatakan kesediannya untuk membantu. “Kita bisa membincangkan proyek-proyek baru untuk Suara Muhammadiyah, melahirkan pemikiran baru di Nusantara saat ini. Saya sangat bangga dengan Suara Muhammadiyah sehebat ini,” ujarnya.

Salah satu tokoh besar yang menjadi perhatian Aljuneid adalah Hamka. “Sebagian besar artikel-artikel Hamka ada di Suara Muhammadiyah. Saya ingin mengembalikan minat orang-orang di Nusantara tentang Hamka,” ungkapnya.

“Buku paling penting yang ditulis ayah Hamka adalah Ushul Fikih. Satu-satunya dalam bahasa Indonesia. Saya berharap Suara Muhammadiyah menerbitkan ulang buku-buku ayah Hamka dan Hamka itu sendiri,” kata Aljuneid.

Dalam rangka menerjemahkan dan menerbitkan ulang karya-karya ulama Nusantara, Aljuneid berharap Suara Muhammadiyah bisa memposisikan diri secara objektif.  Sehingga terhindar dari sikap ta’asubiyah atau sektarianisme yang negative. “Suara Muhammadiyah harus menjembatani antara golongan-golongan tersebut,” tuturnya.

“Suara Muhammadiyah tidak boleh memihak, tidak boleh menjadi salafi, tidak boleh menjadi sufi, tidak boleh menjadi liberal, dan tidak boleh menjadi terlalu modern. Kita ambil dari semua-semua itu, menjadi kosmopolitan modern sesuai dengan al-Quran dan sunnah,” harapnya.

Oleh karena itu, kata Aljuneid, penting sekali bagi umat Islam untuk mengembalikan pemikiran wasatiyyah dalam segala bidang kehidupan, sebagaimana pernah dirumuskan Hamka. “Di sinilah bagaimana peran Suara Muhammadiyah sebagai yang melahirkan pemikiran-pemikiran baru di nusantara ini,” kata Aljuneid (Ribas).

Exit mobile version