Oleh: David Efendi*
Penempatan desa sebagai ‘obyek’ pembangunan meninggalkan banyak cerita pahit dan kelam ihwal isu-isu kesajahteraan. Desa yang secara retorik dibayangkan sebagai target pembangunan bukan menjadi center of excellence justru menjadi tuna kesejahteraan berkepanjangan (lack of sustainable prosperity). Banyak persoalan-persoalan hak mendasar (basic needs) warga negara justru diabaiakan oleh kebijakan selama lebih dari 4 dekade terakhir ini. Karena gelapnya masa depan di perdesaan, trend populasi yanga akan tinggal di perkotaan terus meningkat. PBB mencatat penduduk Indonesia tinggal di pedesaan sebesar 40,65% tahun 2015 yang secara konsisten terus mengalami penurunan dan memprediksi pada tahun 2045 penduduk Indonesia di pedesaan tinggal sebesar 17,63%. Demikian juga terjadi di belahan bumi lainnya.
Adalah Kyai Haji Ahmad Dahlan yang menunjukkan concern sangat kuat akan persoalan sosial dan ekonomi yang melanda bangsa akibat kebijakan kolonial di awala abad XX. Pembangunan kemandirian ekonomi dan ketahanan sosial melalui pendidikan, rumah sakit, lembaga sosial sebagai “anti dote” dari persoalan mendasar rakyat sekaligus menjadi model ‘theologi pembebasan’ yang khas Muhammadiyah dengan beragam gagasan ‘berkemajuan’ di dalamnya. Di usia Muhammadiyah yang melampuai usia 100 tahun, gagasan berkemajuan ini kembali dirumuskan sebagai bagian dari kontirbusi Muhammadiyah meluruskan ‘kiblat’ pembangunan bangsa. Karena itu Muhammadiyah mempunyai keinginan untuk melihat Indonesia sebagai bangsa yang besar dan bermartabat, banyaknya persoalan bangsa harus bisa diselesaikan secara arif dan bijak, serta merujuk pada kepribadian bangsa yang luhur (Haedar Nashir, 2016).
Muhammadiyah punya komitmen besar atas upaya penyelesaian persoalan bangsa karena Muhammadiyah menjadi abgian tak terpishakan dari bangsa Indonesia. Sehingga cita-cita Muhammadiyah adalah seiring sejalan dengan cita-cita bangsa Inodnesia. Cita-cita Indonesia adalah negara yang makmur, adil dan berdaulat, hal inilah yang menjadi tafsir kontekstual Muhammadiyah untuk menjadi Indonesia yang bekemajuan. Cita-cita “maju” inilah yang perlu dirumuskan secara sistematik ke dalam roadmap pembangunan masyarakat perdesaan yang akan diperankan oleh Muhammadiyah dengan memobilisasi segala kekuatan yang ada untuk mendukung negara/pemerintah mewujudkan desa yang maju, unggul, inovatif, mandiri, dan berdaya tahan (sustainable) yang kemudian jurusan Ilmu Pemerintahan UMY ‘branding’ sebagai desa berkemajuan.
Spirit Muhammadiyah adalah berkhidmat untuk bangsa sehingga beragam gagasan penting,mendasar, dan starategis yang pernah disusun oleh Muhammadiyah yaitu buku “Indonesia Berkemajuan: Rekonstruksi Kehidupan Kebangsaan yang Bermakna” (2014) dan buku. “Revitalisasi Visi dan Karakter Bangsa: Agenda Indonesia Ke Depan” (2009) adalah sumbangsih pemikiran untuk menegaskan keberpihakan Muhamamdiyah atas upaya-upaya penyelesaian persoalan bangsa. Tulisan ini sebenarnya dalam rangkah untuk turut melaksanakan agenda mendesak bangsa yang telah dirumuskan Muhammadiyah dalam locus pedesaan—desa berkemajuan. Lalu apa dan bagaimana desa berkemajuan itu?
Muktamar Muhammadiyah ke-47 merumuskan Indonesia Berkemajuan sebagai “suatu pemikiran yang mendasar dan mengandung rekonstruksi yang bermakna dalam kehidupan kebangsaan bagi terwujudnya cita-cita negara dan bangsa yang maju, adil, makmur, bermartabat, dan berdaulat sejajar dengan bangsa dan negara lain yang telah mencapai keunggulan.” Hal ini menjadi guidance gagasan desa berkemajuan yang diarahkan persis dengan gagasan Muhammadiyah tersebut di atas. Dalam konteks desa, harus ada kerja kolaboratif untuk membangun (1) kekuatan sosial-politik, (2) potensi sosial-ekonomi, (3) karakter sosial-budaya sebagai pilar desa yang tangguh dan bertumpuh pada kepentingan terbesar warga perdesaan.
Pertama, untuk membangun struktur sosial politik yang baik perlu gagasan pembangunan yang sistemik harus benar-benar dapat dioperasionalkan di lalapangan (applicable) dan terukur dengan mengambil ide-ide positif pelaksanaan good governance yang dipekerjakan di level desa. Modal sosial di desa harus menjadi modal yang fungsional untuk menggerakkan roda kemajuan dan keunggulan desa. Termasuk, UU desa juga haruslah dilihat sebagaipolitics of hope yang membawa optimisme dan bukan sebaliknya. Ketakutan pengelolaan dana besar dari aspek menegerial dan SDM harus diatasi dengan sistem kerja kolaborasi antara desa, pemerintah, perguruan tinggi, dan organisasi kemasyarakatan—termasuk di dalamnya Muhammadiyah. Dengan spirit ‘golong gilik’ watak politik akan menjadi ramah dan produktif. Untuk memastikan agenda tersebut diperlukan ‘kepemimpinan profetikdan Institusi yang progresif’yaitu peran agency dan sistem yang saling menopang, saling menguatkan.
Kedua, pembangunan bidang sosial ekonomi merupakan pilar yang sangat penting untuk membawa desa menjadi desa maju yaitu desa yang mandiri atau memiliki ketahanan di bidang pangan, ekologi yang terkendali, dan adanya kegiatan ekonomi masyarakat yang berkesinambungan sesuai potensi yang dimiliki: pertanian, perkebunan, perikanan, industry kreatif, UMKM, dan sebagainya. Potensi pariwisata atau ecowisata yang selain rekreatif juga bernuansa edukatif nampaknya dimiliki oleh banyak desa-desa di Indonesia. Dukungan pemerintah untuk memperkuat koperasi desa atau BUMDes harus menjadi pemicu untuk memulai upaya memperkuat ekonomi di desa. Keberadaan ranting Muhammadiyah atau organisasi yang mempunyai aktifitas ekonomi lainnya yang ada di desa-desa juga menjadi modal besar untuk mewujudkan desa berdaya, unggul, dan berdaya saing. Hal ini sangat mendesak karena praktik persaingan ekonomi pasar semakin kentara dampaknya sampai ke pelosok desa.
Terakhir, untuk melaksanakan pembangunan sektor sosial-budaya, pertama-tama adalah bagaimana membuktikan bahwa agama harus dipercaya sebagai Sumber Nilai Kemajuan yang direpresentasikan dalam pengelolaan lembaga pendidikan yang mencerahkan untuk membangun keadaban publik dalam rangkah mendorong pelaksanaan kegiatan pembangunan yang tepat sasaran, efektif-efesien, berdaya saing tinggi dan berkelanjutan.
Muhammadiyah telah memeras banyak energi untuk melahirkan gegasan besar di tengah pelambatan ekonomi dan involusi politik di dalam negeri. Peran pembangunan manusia dan pelayanan public oleh Muhammadiyah tak dapat disepelekan, namun dari itu semua nampaknya perlu sekali menjadikan pembangunan perdesaan menjadi salah satu agenda mendesak Muhammadiyah yang dapat dilakukan bersama-sama dengan pemerintah. Negara dan Muhammadiyah mempunyai visi yang sama yaitu membangun dan mempertahankan bangsa ‘unggul, inovatif, dan berdaya saing melalui pembangunan yang bertumpuh pada keunggulan masyarakat desa yang dapat dilihat dari modal kekayaan alam dan modal sosial-budayanya. Hanya dengan itu desa akan menjadi penting di mata negara dan untuk hari-hari yang akan datang. Masa depan bangsa harus dipastikan dengan memastikan terlebih dahulu masa depan desa-desa. Tetapi, desa dan kota tak terpisahkan. Keduanya saling kolaborasi untuk mewujudkan tatananan hidup yang lebih baik.
——————-
*Penulis adalah Dosen Ilmu Pemerintahan UMY