Memaknai Pergantian Tahun bagi Seorang Muslim
Oleh: Sonny Zulhuda
Dalam kehidupan kita lazimnya mengenal dan menggunakan dua sistem penanggalan. Yaitu penanggalan Hijriyah yang berdasarkan peredaran bulan (Qomariyah) dan penanggalan Masehi yang berdasarkan peredaran matahari (Syamsiyah). Perbedaan penanggalan ini diberikan pengakuan astronomis dan historis dalam Al-qur’an ketika Allah menceritakan kisah para pemuda Ashabul Kahfi yang tertidur di dalam gua selama 300 tahun. Dalam Q.S. Al-Kahf (18): 25 dinyatakan:
وَلَبِثُوا فِي كَهْفِهِمْ ثَلَاثَ مِائَةٍ سِنِينَ وَازْدَادُوا تِسْعًا
Dan mereka tinggal dalam gua mereka tiga ratus tahun dan ditambah sembilan tahun (lagi).
Ahli tafsir menyatakan bahwa perhitungan tiga ratus tahun ini berdasarkan hisab yang berlaku di kalangan kaum Ashhabul Kahfi, yaitu berdasarkan perhitungan tahun Syamsiyah. Dan bila menurut hisab tahun Qamariah sebagaimana yang berlaku di kalangan orang-orang Arab, maka menjadi bertambah sembilan tahun, yakni hisab yang tiga ratus tahun berdasarkan tahun Syamsiah dan hisab yang tiga ratus sembilan tahun berdasarkan tahun Qamariyah.
Dalam kehidupan kita, kedua penanggalan ini memiliki makna dan signifikansinya masing-masing. Oleh karenanya insiden pergantian tahun, baik dalam penanggalan Qamariyah maupun Syamsiyah selalu menarik perhatian masyarakat, dan selalu diselingi dengan berbagai kegiatan sosial maupun peringatan keagamaan. Anak sekolah menikmati liburan, kantor-kantor tutup pembukuan, sementara majlis-majlis ta’lim menggelar zikir bersama. Dalam kesempatan ini, Khatib ingin menyampaikan beberapa pesan agama terkait momentum pegantian tahun, tanpa masuk ke wilayah historis ataupun kajian keilmuan astronomis, yang sudah banyak dijelaskan dalam berbagai forum dan media.
Pergantian tahun adalah Sunnatullah
Pergantian tahun, pergantian bulan, dan pergantian hari adalah sunnatullah yang sarat makna bagi kita. Tidak kurang Allah mengabadikan pentingnya waktu melalui representasi surat Al-Asr. Sunnatullah ini jua diindikasikan dalam ayat Allah dari Q.S. Ar-Ra’d: 2 sebagai berikut:
اللَّهُ الَّذِي رَفَعَ السَّمَاوَاتِ بِغَيْرِ عَمَدٍ تَرَوْنَهَا ۖ ثُمَّ اسْتَوَىٰ عَلَى الْعَرْشِ ۖ وَسَخَّرَ الشَّمْسَ وَالْقَمَرَ ۖ كُلٌّ يَجْرِي لِأَجَلٍ مُسَمًّى ۚ يُدَبِّرُ الْأَمْرَ يُفَصِّلُ الْآيَاتِ لَعَلَّكُمْ بِلِقَاءِ رَبِّكُمْ تُوقِنُونَ
“Allah-lah yang meninggikan langit tanpa tiang (sebagaimana) yang kamu lihat, kemudian Dia bersemayam di atas ´Arasy, dan menundukkan matahari dan bulan. Masing-masing beredar hingga waktu yang ditentukan. Allah mengatur urusan (makhluk-Nya), menjelaskan tanda-tanda (kebesaran-Nya), supaya kamu meyakini pertemuan(mu) dengan Tuhanmu”.
Sementara itu dalam Q.S. Al-Baqarah ayat 164, Allah ‘menyentil’ kita yang masih bergeming tidak menyadari kebesaran sang Khaliq padalah begitu banyaknya bukti dan indikator kekuasaan Allah dari fenomena alam yang kita alami.
إِنَّ فِي خَلْقِ السَّمَاوَاتِ وَالْأَرْضِ وَاخْتِلَافِ اللَّيْلِ وَالنَّهَارِ وَالْفُلْكِ الَّتِي تَجْرِي فِي الْبَحْرِ بِمَا يَنْفَعُ النَّاسَ وَمَا أَنْزَلَ اللَّهُ مِنَ السَّمَاءِ مِنْ مَاءٍ فَأَحْيَا بِهِ الْأَرْضَ بَعْدَ مَوْتِهَا وَبَثَّ فِيهَا مِنْ كُلِّ دَابَّةٍ وَتَصْرِيفِ الرِّيَاحِ وَالسَّحَابِ الْمُسَخَّرِ بَيْنَ السَّمَاءِ وَالْأَرْضِ لَآيَاتٍ لِقَوْمٍ يَعْقِلُونَ
“Sesungguhnya dalam penciptaan langit dan bumi, silih bergantinya malam dan siang, bahtera yang berlayar di laut membawa apa yang berguna bagi manusia, dan apa yang Allah turunkan dari langit berupa air, lalu dengan air itu Dia hidupkan bumi sesudah mati (kering)-nya dan Dia sebarkan di bumi itu segala jenis hewan, dan pengisaran angin dan awan yang dikendalikan antara langit dan bumi; sungguh (terdapat) tanda-tanda (keesaan dan kebesaran Allah) bagi kaum yang memikirkan.”
Berdasarkan dua penggal ayat Quran yang kita bacakan diatas, jelaslah bahwa Allah memerintahkan kita untuk menggunakan akal sehat dan segala indera kita untuk beranjak dari angan, bangun dari mimpi, dan sadar dari alpa, agar tidak tenggelam dalam kenikmatan duniawi dan menganggap fenomena alam sebagai hal yang biasa-biasa saja, seakan bergerak alami tanpa dimotori dynamo dari yang serba Maha berkuasa.
Begitupun dengan berjalannya waktu dan pergantian tahun seperti yang akan kita alami tidak lama lagi. Adalah kesia-siaan jika kita melewatinya tanpa memperkuat iman, memperbaharui niatan dan menaiktarafkan kualitas zikir dan fikir kita.
Ada beberapa hal yang perlu digarisbawahi untuk memaknai akhir tahun ini sebagai seorang Muslim.
Pertama: akhir tahun adalah peluang muhasabah/introspeksi
Muhasabah adalah audit internal yang paling mendasar, sebelum ada orang lain mengaudit diri kita. Ini menantang kita untuk membuka kembali catatan sepanjang tahun, baik yang tersurat ataupun yang tersirat. Apakah kejayaan, atautah kegagalan yang kita alami? Dalam karir dan kerjaya, adakah kita memenuhi indikator kinerja utama (key performance indicator) yang ditetapkan oleh atasan kita selama tahun ini? Dalam berwirausaha dan berniaga, apakah ada peningkatan dari segi produktivitas, penjualan ataupun nilai keuntungan?
Dalam dunia persekolahan, adakah nilai kita bertambah selain mendapat pencerahan dari dewan kuliah? Dalam kehidupan sosial dan bertetangga, semakin harmoniskan rumah tangga kita, bertambahkan teman kita, atau bertambahkah amanat yang diberikan orang kepada kita? Dalam kehidupan kita sebagai hamba Allah, meningkatkah kualitas dan kuantitas solat, puasa, sodaqoh dan lainnya? Dalam kapasitas kita sebagai khalifah Allah, membaikkah ilmu dan amal sosial kita?
Untuk mengetahui jawabannya, kita harus kembalikan kepada target asal serta tolok ukurnya masing-masing. Hal ini tidak mungkin terwujud jika kita tidak memiliki tolok ukur prestasi dan kinerja yang ingin kita raih di akhir periodisasi pengukuran tersebut, baik dalam hitungan bulan, quarter, semester atau tahunan.
Muhasabah merupakan reaktor yang mengaktifkan potensi diri. Seorang Muslim memandang kejayaan dan kegagalan secara positif. Manisnya kesuksesan harus diiringi dengan syukur, adapun getirnya kegagalan diikuti dengan kesabaran. Inilah SOP yang diharapkan dari seorang Muslim, sebagaimana terefleksikan dalam hadits Rasulullah SAW:
Ajaban li amril mu’min inna amrahu kullahu lahuu khairun..walaisa zaalika li ahadin illa lil mu’min…in asoobathus sarraa’u syakara fakaana khairan lahu..wa in asoobathud dharraa’u sobara fakaana khairan lahu.
“Sungguh amat menakjubkan urusan orang yang beriman, karena semua urusannya adalah kebaikan semata, dan tak seorang pun yang memiliki hal itu selain orang beriman. Apabila ia memperoleh kegembiraan (nikmat), ia lalu bersyukur. Maka kesyukuran itu kebaikan baginya. Apabila ia ditimpa keburukan/bencana, lalu ia bersabar, maka hal itu pun kebaikan baginya.”(HR. Muslim: 2999).
Oleh itu, fenomena pergantian tahun secara tidak langsung adalah periode pengujian kesyukuran dan kesabaran kita. Hasibu anfusakum qobla an tuhasabu. “Hisablah (evaluasilah) diri kalian sebelum kalian dihisab dan berhiaslah (bersiaplah) kalian untuk hari aradh akbar (Yaumul Hisab). Dan bahwasanya hisab itu akan menjadi ringan pada hari kiamat bagi orang yang menghisab (evaluasi) dirinya di dunia.”(Umar Bin Kaththab ra.). Maka apapun hasil dari audit internal diri kita, melalui proses dan mekanisme syukur dan sabar itu, akan menghasilkan output jiwa yang positif, fikiran yang positif dan personality yang positif pula.
Kedua: Akhir tahun ini sebagai periode perencanaan untuk yang lebih baik
Jika muhasabah adalah ajang untuk mengevaluasi diri, maka memasuki tahun baru kita melakukan mujahadah, yaitu menindaklanjuti evaluasi dengan perencanaan strategis dan langkah-langkah korektif. Bak kata pantun Melayu: Ikan melompat di hujung tanjung; Ikan merah di air jernih. Tempat mana gundik berlindung; Buang yang keruh ambil yang jernih.
Tahun baru merupakan titik awal menuju perubahan, tentunya perubahan kearah yang lebih baik. Rasulullah SAW bersabda: “man kana yaumuhu khairan min amsihi fahua rabihun, wa man kana yaumuhu sawa’an min amsihi fahua khasirun, wa man kana yaumuhu syarran min amsihi fahua mal’unun.”
Artinya hadits tersebut: “Barang siapa yang pada hari ini lebih baik dari hari kemarin maka dia beruntung, apabila pada hari ini sama dengan kemarin maka dia merugi, dan barangsiapa yang hari ini keadaanya sama dengan buruk daripada hari kemarin, maka ia termasuk orang yang buntung (celaka).”
Setiap perjuangan perlu perencanaan. Resolusi tanpa langkah strategis hanya tinggal resolusi yang tidak terpenuhi dari tahun ke tahun. Karenanya, sering kita dengan resolusi tahun baru yang paling populer adalah “melanjutkan resolusi tahun sebelumnya.” Hal ini terjadi karena kita tidak melakukan perencanaan dengan baik. Jika kita gagal melakukan perencanaan, maka kita sedang merencanakan kegagalan.
Kita perlu belajar dari pemimpin kita Rasulullah SAW dalam melakukan perencanaan yang rapi. Perencanaan yang matang, administrasi yang rapi, sumber daya manusia yang tepat guna – semuanya digunakan oleh Rasulullah SAW dalam strategi perniagaan, aktivitas dakwah, perjalanan hijrah, strategi peperangan dan bahkan dalam menjalankan pemerintahan dan penghakiman negara Islam di Madinah. Semuanya direncanakan dengan rapih dan didukung dengan administrasi yang terstruktur.
Oleh karena itu, mengingat pergantian tahun adalah mengingat tentang pentingnya perencanaan, perencanaan dan perencanaan – mulai dari budgeting, planning sampai eksekusi untuk mendapatkan hasil yang lebih baik dari tahun sebelumnya.
Ketiga: Pergantian adalah rotasi nasib dan kehidupan, bukan hanya sebuah rutinitas astronomis
Dalam Q.S. Ali Imran (3:140) Allah berfirman:
إِنْ يَمْسَسْكُمْ قَرْحٌ فَقَدْ مَسَّ الْقَوْمَ قَرْحٌ مِثْلُهُ ۚ وَتِلْكَ الْأَيَّامُ نُدَاوِلُهَا بَيْنَ النَّاسِ وَلِيَعْلَمَ اللَّهُ الَّذِينَ آمَنُوا وَيَتَّخِذَ مِنْكُمْ شُهَدَاءَ ۗ وَاللَّهُ لَا يُحِبُّ الظَّالِمِينَ
“Jika kamu (pada perang Uhud) mendapat luka, maka sesungguhnya kaum (kafir) itupun (pada perang Badar) mendapat luka yang serupa. Dan masa (kejayaan dan kehancuran) itu Kami pergilirkan diantara manusia (agar mereka mendapat pelajaran); dan supaya Allah membedakan orang-orang yang beriman (dengan orang-orang kafir) supaya sebagian kamu dijadikan-Nya (gugur sebagai) syuhada’. Dan Allah tidak menyukai orang-orang yang zalim,”
Allah SWT menggambarkan roda kehidupan dengan lafaz Al-ayyamu yang berarti hari-hari, bermakna perputaran nasib berlaku paralel dengan perputaran hari-hari yang kita lalui. Kemenangan dalam perang akan digilir. Kekuasaan politik dan pemerintahan akan digilir. Kedigdayaan finansial akan digilir. Bahkan penguasaan ilmu dan pengetahuanpun akan digilir antara individu dan kelompok masyarakat.
Memahami berputarnya roda kehidupan ini menjadikan Muslim ingat dan waspada, selalu bersiap mengumpulkan bekal jika sampai gilirannya. Diri menjadi tawadu’ bagaikan ilmu padi, yang semakin merunduk jika semakin berisi. Tambah berkuasa tambah ringan tangannya, bukan malah membongkak sambil menepuk-nepuk dada. Sikap ini juga akan menumbuhkan jiwa sosial yang tinggi, yang simpati terhadap penderitaan orang, dan mencari peluang untuk menolong yang kesusahan.
Walau hanya sekedar merelakan antrian, mengorbankan waktu kerja melanjutkan pelayanan, atau sekedar meminjamkan telepon bagi memudahkan orang lain. Seorang Muslim sejati akan senang melakukannya, karena di dalam hatinya senantiasa diingatkan tentang hukum resiprokaliti yang dijanjikan Allah, “Sayangi penduduk bumi, niscaya kau disayangi oleh yang ada di langit.” Hari ini aku tolong dia, siapa tahu esok aku pula perlukan pertolongannya.
Oleh karena itu, sebuah keniscayaan bagi seorang Muslim yang memahami sunnah pergeseran waktu seiring perputaran roda kehidupan, untuk selalu berpandangan jauh dan berfikiran kalkulatif pada setiap hal yang dia kerjakan.
Keempat: Akhir tahun sebagai pertambahan umur dan mendekatkan ajal
Memang benar, umur adalah angka. Namun tidak benar, jika kita berhenti disitu saja. Bertambah umur seseorang berarti semakin dekat kepada ajalnya. Ulang tahunnya disinonimkan dengan hilang tahun.
Kematian adalah keniscayaan, tanpa harus melalui pintu uzur ataupun kesakitan. Dalam mengenang waktu yang terus berjalan ini, Allah SWT mengingatkan agar kita berbekal untuk akhirat kita. Dalam Q.S. Al-Hasyr (59):18 dinyatakan:
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا اتَّقُوا اللَّهَ وَلْتَنْظُرْ نَفْسٌ مَا قَدَّمَتْ لِغَدٍ ۖ وَاتَّقُوا اللَّهَ ۚ إِنَّ اللَّهَ خَبِيرٌ بِمَا تَعْمَلُونَ
“Hai orang-orang yang beriman, bertakwalah kepada Allah dan hendaklah setiap diri memperhatikan apa yang telah diperbuatnya untuk hari esok (akhirat); dan bertakwalah kepada Allah, sesungguhnya Allah Maha Mengetahui apa yang kamu kerjakan.”(QS al Hasyr [59] : 18 )
Formulasi yang ditawarkan Rasulullah SAW terkait ayat diatas sangat sederhana. Investasikan kekayaanmu untuk meminimalisir kemiskinan, manfaatkan sehatmu untuk mengelakkan kesakitan, eksploitasi masa mudamu untuk menopang hari tuamu; pergunakan waktu luangmu untuk mengantisipasi masa sibukmu; dan akhirnya, berbekallah selama hidupmu untuk mempersiapkan kematian kelak. Formulasi itu dapat kita aktivasikan saat ini ketika kita diingatkan akan waktu yang terus berjalan memasuki hari baru dan tahun yang baru, sementara badan makin digerus zaman.
Penutup
Demikianlah bagaimana seorang Muslim memaknai pergantian tahun sebagai ajang zikir dan fikir. Dalam bahasa kekinian, kita scan dosa yang lalu, kita upgade kesadaran baru, kita re-install wacana ilmu, dan kita posting niat yang jitu. Semoga dengan bergantinya tahun di hari lusa, kita dapat jalani muhasabah dan mujahadah diri. Bersikap introspektif, kalkulatif, simpatik dan juga antisipatif terhadap masa depan kita sebagai Muslim dimana jua berada.
– وَالْعَصْرِ إِنَّ الْإِنْسَانَ لَفِي خُسْرٍ- إِلَّا الَّذِينَ آمَنُوا وَعَمِلُوا الصَّالِحَاتِ وَتَوَاصَوْا بِالْحَقِّ وَتَوَاصَوْا بِالصَّبْرِ
“Demi masa. Sesungguhnya manusia itu benar-benar dalam kerugian. Kecuali orang-orang yang beriman dan mengerjakan amal saleh dan nasehat menasehati supaya mentaati kebenaran dan nasehat menasehati supaya menetapi kesabaran.”
Penulis adalah Ketua Pimpinan Cabang Istimewa Muhammadiyah (PCIM) Malaysia