Etika Bermedia Sosial Menurut Prof Dadang Kahmad

Etika Bermedia Sosial Menurut Prof Dadang Kahmad

Prof Dr Dadang Kahmad (Dok SM)

YOGYAKARTA, Suara Muhammadiyah-Ketua PP Muhammadiyah Bidang Pustaka Informasi dan Komunikasi, Prof Dadang Kahmad mengatakan, bahwa media merupakan salah satu pilar dari negara demokrasi. Keberadaan media merupakan sebuah kebutuhan dalam menciptakan keseimbangan, sarana edukasi, hingga sebaga alat control terhadap pemerintahan.

Menurut Dadang, kebebasan berbicara dalam konteks kebangsaan sangat dilindungi oleh undang-undang. Bahkan termasuk sebagai salah satu unsur Hak Asasi Manusia yang tidak bisa dilanggar oleh siapapun. Namun, di era digital seperti saat ini, kebebasan berbicara telah mengikis nilai-nilai etika, memorak-porandakan moralitas, dan menggerus derajat akhlak.

Keberadaan media social, kata Dadang harus bisa digunakan secara tepat dan proporsional. “Orang-orang itu mengekspresikan pikirannya dalam media social dengan beragam bentuk. Penyebaran berita hoax hingga mampu menjadikan orang baik menjadi jelek dan orang jelek menjadi baik. Efektif juga jika digunakan untuk berkampanye,” katanya.

“Medsos itu netral, tergantung siapa yang menggunakan dan dengan tujuan apa. Penggunaan diserahkan kepada individu,” kata Dadang sambil mencontohkan peristiwa Arab Spring, yang sangat massif dan sukses karena di awali dari medsos.

Sosiolog UIN Sunan Gunung Jati Bandung itu mengingatkan kaum muslimin untuk berhati-hati dalam menggunakan media social. Zaman rasul pernah juga terjadi fenomena berita hoax. Pertama, berita bohong yang disebarkan oleh Abdullah bin Saba al-Sahul. Menyebarkan berita fitnah bahwa Aisyah istri nabi telah berzina. Setelah terjadi kekacauan berita selama sebulan, turun QS. Al-Nur: 11-18, yang melarang menyebarkan berita bohong.

Kedua, peristiwa al-Walid bin Uqbah. Dia diperintahkan oleh Rasul untuk memungut zakat dari suatu kabilah yang baru masuk Islam. Di tengah jalan, al-Walid berbalik pulang karena takut berjalan sendiri. Lalu melaporkan kepada Rasul bahwa kabilah itu tidak mau membayar zakat dan menantang perang. Tentu saja Rasul menyiapkan pasukan, siap perang. Untung saja, al-Haris mendahului datang ke Rasulullah dan mengatakan bahwa mereka menantikan kedatangan utusan rasulullah untuk memungut zakat.

Lalu turunlah QS. At-Taubah: 6; Dan jika seorang diantara orang-orang musyrikin itu meminta perlindungan kepadamu, maka lindungilah ia supaya ia sempat mendengar firman Allah, kemudian antarkanlah ia ketempat yang aman baginya.

“Dua peristiwa itu menjadi ibrah bagi kita untuk berhati-hati dengan berita yang dapat menghancurkan tatanan kehidupan. Dunia semakin tidak ada sekat-sekat. Satu sisi positif, lain sisi negative,” kata Dadang.

Di dalam Al-Quran, kata Dadang dijelaskan, “Allah tidak menyukai perkataan buruk yang diucapkan dengan terus terang, kecuali oleh orang yang teraniaya.” (QS an-Nisa’: 148). Ayat itu memberi pesan supaya berbicara penuh etika dan nilai kebaikan. “Sehingga bicara kita tidak menyakiti hati orang lain; terkecuali saat menyuarakan suara korban ketidakadilan dan memperjuangkan kebenaran orang teraniaya,” ulas Dadang.

Dadang lalu mengutip perkataan Imam An-Nawawy, dalam kitab Riyadhah Salihin, yang menjelaskan tentang berbicara yang terpuji, yakni: Pertama, materi pembicaraan tidak untuk menjatuhkan orang lain, mengungkapkan aib, rahasia dan kelemahannya. Kedua, disampaikan pada waktu, kesempatan, dan tempat yang tepat. Ketiga, tak berdasarkan spekulasi, perkiraan, dan prasangka. Keempat, berpedoman pada etika Alquran dan Sunah Nabi.

“Menghadapi kemajuan dunia informasi dan teknologi yang sedemikian pesat ini, kita memerlukan peran agama sebagai panduan nilai-nilai moral. Oleh karena ini, sudah menjadi satu tuntutan kita Muhammadiyah menyusun fikih informasi. Seperti Pedoman Hidup Islami (PHI). Berisi kisi-kisi dan sekaligus aturan dan termasuk ancaman bagi yang menyebarkan berita palsu,” ujar Dadang.

Dalam bermedsos, kata Dadang, harus ditanamkan pula bahwa semua aktivitas manusia tidak hanya berimplikasi duniawi. Tapi juga memiliki implikasi ukhrawi. “Apa yang kita sampaikan akan dimintai pertanggung jawaban di hadapan Allah kelak,” ulasnya.

Termasuk di dalamnya dalam konteks media social adalah membagikan atau menshare berita, harus hati-hati. Ada hadis Rasul, cukuplah seseorang itu disebut sebagai pendusta, jika ia menyebarkan apa saja yang dia dengar tanpa melalui proses konfirmasi dan cross check informasi. Dia berdosa dan termasuk pendusta. (Ribas)

Ulasan selengkapnya tentang Etika Bermedia Sosial dan Fikih Informasi bisa dibaca di Majalah Suara Muhammadiyah nomor 2, tahun 2017, edisi cetak.

Exit mobile version