JAKARTA, Suara Muhammadiyah – Dua pemain Film Cahaya Cinta Pesantren, Fachri Muhammad dan Wirda Salamah Ulya hadir di Kampus Universitas Muhammadiyah Prof Dr Hamka (Uhamka), Limau, Jakarta Selatan, Kamis (4/1). Fachri dan Wirda memang dijadwalkan menghadiri bedah film dan talkshow bertema ‘Indahnya Pesantren Berbagi dengan Cinta’.
Ratusan mahasiswa sangat antusias. Tak ada yang beranjak mulai dari awal sampai akhir sesi. Berbagai pertanyaan pun diajukan mengenai seluk-beluk film, mulai dari karakter, cerita yang diangkat, hingga artistiknya.
Fachri berharap film yang akan segera tayang pada 12 Januari 2017 ini mendapat respons positif dari pecinta film Tanah Air dan pesan yang tersirat dapat tersampai dengan baik. Terlebih film ini juga memadukan unsur pariwisata dan mengambil kearifan lokal Sumatera Utara, seperti adegan silat dan lokasi syuting di Medan dan Danau Toba
“Bisa diterima masyarakat dan bukan cuma diterima, tapi pesan moral bisa tersampaikan dan dimengerti dijalani di kehidupan pribadinya,”tuturnya.
Film ini diperankan oleh Yuki Kato, Febby Blink, Vebby Palwinta, Silvia Blink, Rizky Febian, Elma Theana, Tabah Penemuan, Zeezee Shahab, Fachri Muhammad serta Wirda Mansur.
Cahaya Cinta Pesantren mengangkat kisah kehidupan seorang anak nelayan di danau Toba. Namanya Shila. Seorang anak perempuan yang ingin melanjutkan sekolah ke SMA Negeri favorit di daerahnya namun tidak lolos, karena keterbatasan biaya orang tuanya.
Shila kemudian disekolahkan di sebuah SMA Swasta. Meskipun awalnya Shila menolak, namun atas bujukan orang tuanya jadilah Shila santri di Pesantren Al-Amanah. Dunia pesantren yang sangat menuntut kedisiplinan tinggi membuat Shila mesti beradaptasi.
Di pesantren, Shila bersahabat dengan Manda, Aisyah dan Icut. Sosok Manda menjadi sahabat terbaik di antara yang lain. Keduanya memiliki banyak kecocokan. Bahkan keduanya juga sama-sama tidak betah tinggal di pesantren.
Hingga suatu ketika, tanpa sepengetahuan yang lain, keduanya pun kabur dari pesantren. Namun keduanya akhirnya kembali lagi ke pesantren itu. Setelah kembali, Manda mantap untuk menjadi santri sejati sementara Shila masih menyimpan keraguan.
Dalam berbagai situasi yang dihadapi, Shila selalu berpegang pada pesan ayahnya sebelum ia berangkat ke pesantren; “Kalau kita mencintai segala sesuatu karena Allah, maka kita tidak akan pernah kenal yang namanya kecewa atau sakit hati” (Ribas).