YOGYAKARTA, Suara Muhammadiyah- Semenjak kehadiran internet dan merambahnya media sosial sebagai bagian yang tak terpisahkan dari kebutuhan hidup sehari-hari, berbagai kemudahan pun diperkenalkan dalam sebuah ruang yang tak lagi mengenal batas atau yang dikenal sebagai dunia maya. Dimulai dari berita dan informasi dari segala penjuru hingga kebutuhan pokok harian, semuanya bisa didapatkan dengan mudahnya dari layar ponsel pribadi.
Namun, nyatanya penggunaan internet dan media sosial bukan hanya membawa kemudahan, sering kali mudharat. Derasnya arus informasi yang tidak bisa dibuktikan kebenarannya yang kerap membingungkan publik, hingga caci maki atau tidak bullying yang berujung kisruh dan memancing kekerasan.
Iswandi Syahputra, Dosen Komunikasi UIN Sunan Kalijaga yang juga seorang pengamat media sosial mengatakan bahwa situasi riuh dan gaduh di sosial media itu adalah realita yang tidak bisa kita kontrol. Bagaikan pisau dapur, manfaat Internet dan media sosial sendiri tergantung kepada penggunanya.
“Teknologi berbasis internet itu netral sama seperti pisau dapur, tergantung penggunanya saja bagaimana yang memanfaatkannya. Orang-orang yang tidak mampu menyaring informasi yang akan terombang-ambing dalam derasnya arus media sosial,” tuturnya kepada suaramuhammadiyah.id.
Beberapa kali Indonesia diributkan dengan kasus kekerasan yang bermula dari kabar sesat serta provokasi yang beredar di media sosial. Tidak dapat dipungkiri, karakteristik media sosial yang salah satunya adalah menitikberatkan kepada kecepatan, telah mengambil andil akan pembentukan perilaku masyarakat. Menurut Iswandi, saat ini saat ini kita berada dalam ruang yang tanpa batas namun dalam posisi sempit dan sesak karena derasnya arus informasi. Hal tersebut membuat kita seakan tidak lagi punya kesempatan yang cukup untuk berpikir jernih sebelum menyebarkan berita atau paling tidak, memverifikasi informasi sebelum menyakininya sebagai suatu kebenaran.
“Dulu kalau kita ingin menerima informasi kita harus menunggu dan ada jeda waktu. Kalau seperti hujan, kini bukan lagi rintik-rintik tapi sudah seperti hujan deras sehingga satu tetes dan lainnya hampir berhimpitan satu sama lain,” tutur Iswandi.
Sehingga, kondisi tersebut yang menurut Iswandi tak jarang membuat masyarakat menjadi sumbu pendek. Dalam artian, “Tidak ada waktu atau jeda baginya untuk merefleksikan apakah berita ini perlu atau tidak untuk disebarkan, apakah berita ini penting atau tidak untuk masyarakat? Akhirnya, ruang berpikir bagi penikmat media sosial menjadi sempit,” lanjutnya.
Iswandi pun memberikan fakta lain terkait penggunaan media sosial, bahwa remaja sangat mudah mendapatkan informasi keagamaan lewat internet dan media sosial. Sumber-sumber pengetahuan akan perihal keagamaan seperti orang tua dan ulama tidak lagi menjadi rujukan primer bagi mereka. “Bahkan mencari arah kiblat saja bisa melihat dari internet,” tukasnya.
Sedangkan, ulasan-ulasan keagamaan yang tidak terang siapa sumbernya dan bebas bertebaran di internet ataupun media sosial semakin ke sini semakin liar peredarannya. Tak heran, semakin mudah untuk membuat netizen terpeleset ke dalam pemahaman yang sesat, bisa jadi berbuntut ekstremisme dalam pemahaman beragama. Seperti yang diterangkan oleh Iswandi menutup perbincangan dengan suaramuhammadiyah.id, bahwa dalam satu penelitiannya terkait media sosial, dapat dikatakan bahwa kemunculan media baru akan melahirkan cara beragama baru (Th).
Ulasan lengkap tentang Etika Bermedia Sosial dan Fikih Informasi bisa dibaca di Majalah Suara Muhammadiyah nomor 2, tahun 2017, edisi cetak.