Rupiah Zonder Muhammadiyah?

Rupiah Zonder Muhammadiyah?

Rupiah Zonder Muhammadiyah?

Rupiah Zonder Muhammadiyah?

Oleh: Muhammad Yuanda Zara

Pemerintah, melalui Bank Indonesia (BI) baru saja mengeluarkan 11 uang rupiah baru. Ada 12 muka pahlawan di uang tersebut, yang sebagian besarnya adalah muka baru alias belum pernah ditampilkan dalam rupiah. Kalangan Muhammadiyah merespon uang baru ini dengan beragam. Ada yang memandang bahwa kali ini rupiah zonder (tanpa) Muhammadiyah, salah satu organisasi kemasyarakatan Islam terbesar di Indonesia.

Tapi ada pula klaim bahwa Muhammadiyah diwakili oleh Soekarno dan Djuanda Kartawawidjaja. Pentingkah gambar wajah di mata uang? Bagaimanakah sebenarnya representasi Muhammadiyah, baik di uang baru, maupun di sepanjang sejarah uang Indonesia? Bagaimana dengan para tokoh Muhammadiyah yang lebih populer?

Gambar di mata uang merupakan aspek yang sangat krusial dalam kehidupan suatu negara-bangsa. Wajah-wajah dalam rupiah merepresentasikan pandangan pemerintah terhadap sejarah, pahlawan, dan keterwakilan berbagai kelompok dalam masyarakatnya.

Mencetak muka di mata uang berarti merawat ingatan tentang seorang tokoh ternama, atau memperkenalkan tokoh baru yang belum dikenal. Bohlman (2004: xv) yang meneliti mata uang Uni Eropa, Euro, menyebut bahwa gambar-gambar yang khas, dalam hal ini di uang Euro, merupakan “suatu cara untuk melestarikan identitas yang unik dari masing-masing bangsa”.

Inipun berlaku bagi rupiah. Di samping itu, bayangkan kekuatan public relation yang dibawa rupiah baru: Uang baru ini akan berada di tangan ratusan juta orang Indonesia, bahkan juga di luar negeri lewat penukaran uang, sehingga merupakan salah satu medium yang efektif mempromosikan wajah yang dibawanya.

Di dalam uang yang baru ini, bisa dikatakan bahwa Muhammadiyah hanya separoh terwakili. Kaitan Djuanda dengan Muhammadiyah memang tidak diragukan lagi. Djuanda adalah anggota Muhammadiyah. Ayahnya sendiri, R. Kartawidjaja, merupakan pengurus Muhammadiyah di Tasikmalaya. Pada tahun 1936-1942 Djuanda bertugas sebagai Direktur AMS Muhammadiyah di Jakarta. Bahkan, seminggu sebelum meninggal, Djuanda sempat berkirim surat pada Muhammadiyah Ranting Menteng, Jakarta, agar dirinya tetap diakui sebagai anggota Muhammadiyah.

Dengan berpandangan bahwa setiap individu mempunyai berbagai macam identitas (sekolah, organisasi kemasyarakatan, afiliasi politik, pekerjaan, suku bangsa), dengan sebagian tergolong menonjol sementara sebagian lainnya tidak, maka kemunculan Djuanda boleh dibilang tidak terlalu menampilkan identitas kemuhammadiyahan. Dalam publikasi resmi BI, Djuanda diperkenalkan sebagai “Pengukuh Kedaulatan Indonesia”.

Tidak ada referensi sama sekali ke Muhammadiyah. Bandingkan dengan KH Idham Chalid, yang diperkenalkan sebagai “Guru Besar Nahdlatul Ulama”, jadi secara langsung menunjukkan afiliasi keorganisasiannya. Singkatnya, dari sisi pemerintah, arti penting Djuanda ialah dilihat dari kontribusinya bagi “kedaulatan”, dalam hal ini peran krusialnya dalam soal kedaulatan Indonesia atas lautnya.

Di luar identitas sebagai negarawan ini, Djuanda lebih banyak eksis dalam memori orang Indonesia dalam tiga kata kunci lain: administrator, teknokrat, dan Sunda. Ini tampak dari berbagai karya yang mengulas biografi Djuanda, baik yang utuh maupun populer. Sedikit sekali diungkap peran Djuanda dalam Muhammadiyah. Tapi mungkin bukan salah publik juga untuk menganggap bahwa Djuanda tidak merepresentasikan Muhammadiyah.

Ini terjadi karena terlampau sedikitnya informasi yang tersedia soal relasi Djuanda dan Muhammadiyah. Dewasa ini hanya ada satu biografi utuh Djuanda, plus satu buku in memoriam, serta beberapa tulisan pendek tentang Djuanda. Informasi yang ada kebanyakan mengulang informasi lama yang sudah jamak diketahui. Padahal, posisinya di Muhammadiyah kala itu tergolong tinggi, dan ia sendiri hingga akhir hayatnya merupakan anggota Muhammadiyah.

Mungkin ini bisa dilihat pula sebagai dorongan agar Muhammadiyah lebih peduli untuk mempromosikan berbagai tokohnya yang, dalam konteks Djuanda, tidak hanya berskala nasional, melainkan internasional. Muhammadiyah perlu menerbitkan lebih banyak tulisan, dengan tema atau bahkan bahan baru, untuk mengulas posisi Djuanda dan Muhammadiyah. Publik diberi pemahaman bahwa Djuanda tidak hanya birokrat, melainkan administrator Muhammadiyah, posisi yang memberinya keahlian dalam bidang administrasi sebelum menjadi administrator pemerintahan yang luar biasa (sekali menjadi perdana menteri dan 14 kali menjadi menteri!).

Lalu, bagaimana dengan posisi tokoh Muhammadiyah lainnya dalam sejarah mata uang di Indonesia? Meski belum ada ketua umum Muhammadiyah, atau pimpinan seniornya yang menjadi wajah dalam rupiah, mereka yang berada di posisi bawah justru beberapa kali muncul di rupiah. Walaupun mereka bukan dicitrakan sebagai “tokoh” Muhammadiyah, namun tak diragukan lagi masa-masa mereka aktif dalam persyarikatan Muhammadiyah telah mengubah banyak hal dalam hidup mereka dan memberi mereka berbagai pengetahuan dan keterampilan yang memungkinkan mereka lebih berhasil dalam karier selanjutnya di luar Muhammadiyah. Dan, dalam konteks ini, Muhammadiyah patut berbangga, karena organisasi ini termasuk organisasi yang paling banyak menyumbangkan kadernya dalam rupiah.

Salah satu anggota biasanya, Soekarno (pengurus cabang Bengkulu sejak 1938), merupakan orang Indonesia yang paling sering muncul di dalam rupiah, antara lain di tahun 1945, 1947, 1950, 1960, 1961, 1964, 2004, dan 2016. Di bawahnya, ada nama Sudirman, anggota Hizboel Wathan (HW, tempatnya pertama kali belajar tentang keprajuritan sebelum ambil bagian, dan sukses, dalam Peta dan TNI) dan guru HIS Muhammadiyah, yang, meski hanya sekali muncul di uang tahun 1968, tapi dalam sekali penerbitan uang itu, ia tampil dalam lima pecahan, mulai dari satu hingga seribu rupiah. Di samping itu, ada nama Oto Iskandar di Nata, guru sekolah Muhammadiyah Jakarta, yang pernah tampil dalam pecahan cukup besar di zamannya, Rp 20.000.

Lalu bagaimana dengan sosok yang dikenal sebagai tokoh Muhammadiyah, seperti KH Ahmad Dahlan dan Ki Bagus Hadikusumo? Atau Nyai Ahmad Dahlan? Bisakah tampil di rupiah? Apakah warga Muhammadiyah hanya bisa berharap agar pemerintah memasukkan namanya ke dalam uang rupiah? Sejatinya, ada mekanisme yang memungkinkan tampilnya sosok seorang tokoh di rupiah. Di satu sisi, keputusan soal siapa yang dipilih ada di tangan pemerintah, tergantung pada tujuan dimasukkannya nama tertentu, konstelasi politik, dan sebagainya.

Elite Muhammadiyah mungkin bisa memperkuat komunikasi dan persuasinya pada pemerintah agar keterwakilan Muhammadiyah lebih dipertimbangkan. Kontribusi publik juga memainkan peranan penting. Usulan nama bisa diajukan ke BI. KH Ahmad Dahlan dapat dipromosikan sebagai “pelopor kemajuan sosial-keagamaan” sementara Nyai Ahmad Dahlan sebagai “perintis kebangunan kaum wanita”. Di sisi lain, para akademisi serta sejarawan diharapkan memberi pertimbangannya tentang arti penting mereka. Edukasi perlu terus dilakukan guna meningkatkan pengenalan, perhatian, kesadaran, popularitas dan, pada akhirnya, “elektabilitas” mereka.

Muhammad Yuanda Zara, Sejarawan, PhD di Universiteit van Amsterdam

Baca ulasan “Biografi Djuanda” dalam Suara Muhammadiyah no. 2 Tahun 2017 versi cetak. Pemesanan: 0819-0418-1912. Email: agensi.suaramuh@gmail.com

Exit mobile version