YOGYAKARTA, Suara Muhammadiyah-Undang Undang nomor 11 tahun 2008 atau UU ITE mengatur tentang informasi serta transaksi elektronik. UU ini memiliki yurisdiksi yang berlaku untuk setiap orang yang melakukan perbuatan hukum di wilayah hukum Indonesia dan atau di luar wilayah hukum Indonesia dan merugikan kepentingan Indonesia.
UU ini di antaranya bertujuan untuk memberikan rasa aman, keadilan, dan kepastian hukum bagi pengguna dan penyelenggara Teknologi Informasi. Selain tentunya untuk mencerdaskan kehidupan bangsa sebagai bagian dari masyarakat informasi dunia.
Pakar komunikasi Universitas Ahmad Dahlan (UAD) Yogyakarta, Anang Masduki menyatakan bahwa UU ITE memiliki jangkauan yang terbatas. Meskipun telah dirancang dengan sangat bagus, UU ini hanya bisa memantau secara efektif untuk konten media-media mainstream.
“UU ITE sebenarnya sudah bagus, tetapi tidak bisa membendung media social. Media mainstream itu bisa dibendung, seperti TV, radio, media cetak, Koran. Mereka milik korporasi. Media mainstream bisa dibendung dengan UU ITE, UU Press, UU Penyiaran, itu bisa. Tetapi media social tidak bisa dibendung semuanya,” ujar Anang kepada Suara Muhammadiyah beberapa waktu lalu.
Menurut Anang, jumlah pengguna internet tahun 2014 di Indonesia mencapai 38 juta atau 15%. “Mungkin sekarang sudah mencapai 50 juta. Pemerintah dengan UU ITE tidak mungkin mengcover 50 juta orang ini. Tapi kalau mengcover 1000 perusahaan media-media mainstream mungkin bisa,” tuturnya.
Baca: Jihad Selfie, Kisah Perekrutan ISIS Melalui Sosial Media dan Peran Orang Tua
Perbuatan yang dilarang (cybercrimes) menurut UU ITE adalah konten ilegal, yang terdiri dari, antara lain: kesusilaan, perjudian, penghinaan/pencemaran nama baik, pengancaman dan pemerasan (Pasal 27, Pasal 28, dan Pasal 29 UU ITE); akses ilegal (Pasal 30); intersepsi ilegal (Pasal 31); gangguan terhadap data (data interference, Pasal 32 UU ITE); gangguan terhadap sistem (system interference, Pasal 33 UU ITE); penyalahgunaan alat dan perangkat (misuse of device, Pasal 34 UU ITE).
UU ITE, ujar Anang sebenarnya sudah mumpuni. “Misalkan di situ dilarang hate speech, dilarang berbohong, dilarang menyebarkan pornografi. Itu ancamannya 6 sampai 12 tahun,” ulasnya.
Sebagai solusi, Anang menyarankan adanya beberapa lembaga pemerintahan terkait seperti Kominfo, kepolisian, dewan press, dan LSM-LSM yang bergerak di bidang media untuk bekerjasama dalam mengatasi pelanggaran itu.
“Menurut saya salah satu solusi yang bagus, itu semua komponen negara bersama civil society membumikan literasi media ke semua masyarakat,” ujarnya.
Baca: Etika Bermedia Sosial Menurut Prof Dadang Kahmad
Hal itu dianggap Anang penting untuk dilakukan, karena selama ini isu-isu yang muncul di media social dipengaruhi oleh media mainstream, terutama TV. “Masyarakat menyampaikan uneg-unegnya melalui media social sebagai reaksi atas berita-berita yang awalnya dimunculkan media mainstream,” katanya
Anang mengingatkan pentingnya sinergisitas dalam mendukung UU ITE ini. “Problem kita, media mainstream kita dimiliki oleh elit parpol. Solusianya UU kepemilikan parpol harus diubah. Pemilik media harus independen, tidak SARA, itu normative sekali. Kita harus membuat UU dimana media tidak boleh dimiliki oleh elit parpol,” kata Anang (Ribas).
Ulasan selengkapnya tentang Etika Bermedia Sosial dan Fikih Informasi bisa dibaca di Majalah Suara Muhammadiyah nomor 2, tahun 2017, edisi cetak.