يَٰٓأَيُّهَا ٱلَّذِينَ ءَامَنُوٓاْ إِن جَآءَكُمۡ فَاسِقُۢ بِنَبَإٖ فَتَبَيَّنُوٓاْ أَن تُصِيبُواْ قَوۡمَۢا بِجَهَٰلَةٖ فَتُصۡبِحُواْ عَلَىٰ مَا فَعَلۡتُمۡ نَٰدِمِينَ
Hai orang-orang yang beriman, jika datang kepadamu orang fasik membawa suatu berita, maka periksalah dengan teliti agar kamu tidak menimpakan suatu musibah kepada suatu kaum tanpa mengetahui keadaannya yang menyebabkan kamu menyesal atas perbuatanmu itu (Qs al-Hujurat: 6).
Kita sekarang hidup pada era digital, yang di dalamnya penuh degan limpahan informasi dari berbagai belahan dunia.
Sejak alam dunia terbentang, umat manusia tidak pernah luput dari yang namanya informasi. Nabi Adam as diberi amanah sebagai khalifah di muka bumi karena memiliki keunggulan di bidang informasi (al-asmaa’), dibanding para malaikat.
Baca: Etika Bermedia Sosial Menurut Prof Dadang Kahmad
Namun tak dapat dipungkiri bahwa selain informasi yang benar, tak sedikit pula informasi yang beredar di tengah masyarakat mengandung unsur kepalsuan (hoax).
Pada era Islam awal, manusia sekelas Nabi Muhammad Saw saja pernah terpapar informasi hoax. Yakni isu tentang perbuatan keji antara Aisyah (isteri Nabi) dengan seorang sahabat, Safwan Ibnu Mu’attal. Keduanya tertinggal dari rombongan (pulang dari medan perang), sebab Aisyah harus mencari kalungnya yang hilang. Akhirnya keduanya terlambat tiba di Madinah. Namun isu hoax ertsebut dikoreksi oleh al-Qur’an (QS. an-Nur/24: 11-22).
Baca: Iswandi Syahputra: Internet dan Media Sosial itu Bagaikan Pisau Dapur
Mengingat arus deras informasi dewasa ini semakin tak terbendung, maka beberapa tips berikut ini dapat dijadikan pegangan dalam menyeleksi informasi yang tidak benar. Pertama, meminjam teori kritik hadis tetang SANAD (aspek informan) maupun MATAN (isi pesan), kita bisa mengkritisi subjek atau sumber informasinya memang kredibel dan materi informasi sesuai dengan akal sehat atau data, fakta, rujukan atau link-URL yang valid, terlebih lagi bila terkait kasus hukum. Namun, bisa saja orang yang kredibel tetap terpapar informasi hoax, sebaliknya orang yang tidak kredibel boleh jadi memberikan informasi yang benar.
Kedua, melakukan tabayyun langsung (direct clarification) kepada orang yang terkait dengan isu yang berkembang tetang dirinya. Ketiga, umumnya informasi yang benar tidak menggunakan kata-kata yang bombastis, sarkastis dan sejenisnya. Keempat, sejauh analisis subjektif tetang seorang figur yang bersifat negative campaign, tentu masuk pada aspek criticism yang bisa diterima. Hanya informasi yang berbau fitnah (black campaign) yang tidak dibenarkan dan bisa dijerat oleh UU ITE maupun pidana lainnya.
Kelima, idealnya, penerima informasi jangan langsung percaya pada sebuah materi atau sumber informasi yang diperoleh, tetapi harus membandingkannya dengan sumber informasi resmi lainnya. Misalnya, membaca atau mendengar berita tidak cukup dari satu portal berita/TV saja, tetapi jauh lebih baik membandingkan dengan portal berita/TV yg lain. Keenam, terkadang kita menerima kiriman sebuah gambar yang boleh jadi itu hasil editan atau gambar yang berbeda tahun dan tempat kejadiannya. Untuk kasus ini link Google Image bisa membantu untuk klarifikasi. Demikian pula tetang video yang boleh jadi sudah mengalami editan.
Ketujuh, jika kita menolak sebuah ide atau informasi dari seseorang, fokuslah pada ARGUMENT yang disampaikan, hindarilah sikap yang apologetik dan JUDGEMENT. Kedelapan, Terkait isu keagamaan, harus dicermati apakah sang informan sedang memposisikan diri sbg INSIDER (lebih kental keterlibatan emosionalitas keberagamaan yang subjektif) atau sebagai OUTSIDER (lebih mengkaji atau melakukan analisis sebagai “pengamat”).
Kesembilan, dinamika dunia IT yg sangat berubah cepat tentu membutuhkan reformasi hukum terkait UU ITE, cyber crime, dsb. Baca: UU ITE Tidak Bisa Membendung Media Sosial Kesepiluh, secara global, ada dua isu besar yang dihadapi masyarakat dunia dewasa ini. Yaitu global Capitalism (para penguasa modal plus media) yang umumnya melahirkan ketimpangan sosial, dan global Salafism (global Conservativism) yakni munculnya kelompok perlawanan yang umumnya bernuansa politik tetapi seringkali dibungkus dengan jubah keagamaan yg sectarian. Hal ini seringkali berkaitan dengan apa yang dikenal dengan istilah proxy war.
Terakhir, setiap orang tentu wajar saja memposisikan diri sebagai LOVER ataupun HATER terhadap suatu isu atau figur tertentu. Jika terjadi pro kontra suatu informasi yg tak bisa didamaikan, maka jalur yuridis-konstitusional merupakan jalan terbaik untuk dijadikan solusi. Apapun keputusan hukum, harus diterima dgn lapang dada oleh para pihak yg bertikai. Itulah cara berdemokrasi yang baik.
Akhirnya, menurut Menkoinfo, saat ini ada sekitar 800.000 situs hoax yang beredar di internat. Maka, jagalah diri dan keluargamu dari panasnya neraka hoax (Muaz 2017).
Dr Muhammad Azhar merupakan Anggota Majelis Tarjih Pimpinan Pusat Muhammadiyah
Ulasan selengkapnya tentang Etika Bermedia Sosial dan Fikih Informasi bisa dibaca di Majalah Suara Muhammadiyah nomor 2, tahun 2017, edisi cetak.