YOGYAKARTA, Suara Muhammadiyah-Ahmad Syafii Maarif sang guru bangsa. Usianya semakin senja. Gerakannya sudah tidak segesit dulu. Namun ingatan dan daya kritisnya masih tetap sama. Bicaranya memang sedikit lebih pelan dan kadang terhenti. Wajar saja, singkronisasi antar-bagian saraf agak sedikit melambat. Namun, sikap merdeka dan rasional serta kepekaannya masih saja terlalu muda. Dia masih rajin berpikir dan menuangkan gagasannya dalam berbagai artikel dan berbicara di beragam forum.
Perjalanan Buya Syafii ke kantor Suara Muhammadiyah kali ini masih dengan gaya khasnya semenjak lama. Tak mau merepotkan orang lain. Buya menyetir sendiri mobilnya. Siang ini tepat di saat hujan mengguyur kota Yogyakarta, Buya Syafii berencana bertemu beberapa tamu di Kantor Suara Muhammadiyah. Setelah sebelumnya melakukan pemeriksaan kesehatan di RS PKU Muhammadiyah, yang berada tepat di depan kantor SM.
Baca: Syafii Maarif: Prestasi Suara Muhammadiyah Harus Ditularkan Kepada Amal Usaha Lainnya
“Assalamualaikum Buya, kira-kira sepuluh menit lagi saya sudah sampai di sana,” ujar seseorang di ujung telepon. Suaranya memang jelas terdengar. Buya menggunakan mode loudspeaker ketika menelpon sahabat dan sekaligus tamunya ini.
Dalam selang waktu itulah, beberapa redaktur Suara Muhammadiyah berkesempatan menyimak beberapa petuah Buya Syafii. Jabatan Buya di Suara Muhammadiyah adalah sebagai Pemimpin Umum majalah yang sudah berusia 102 tahun ini.
Buya Syafii lalu menyinggung tentang beberapa persoalan bangsa. Terutama tentang tarik-ulur kasus pembangunan pabrik semen di Rembang. “Sekarang semua serba tidak jelas. Mana yang benar sulit sekali sekarang,” kata Buya menanggapi terbelahnya suara para tokoh dan masyarakat dalam melihat kasus Kendeng.
Beberapa waktu yang lalu, ketua umum Pimpinan Pusat Muhammadiyah periode 1998-2005 itu didatangi perwakilan petani Kendeng. Para petani itu tergabung dalam Jaringan Masyarakat Peduli Pegunungan Kendeng (JMPPK). “Yang datang ke saya itu rakyat jujur, gigih sekali, saya dukung,” tutur Buya.
Baca: Buya Syafii Maarif: Hentikan Proses Pabrik Semen di Rembang!
Bukan hanya itu alasan karena mereka rakyat jujur, Buya juga memiliki alasan kuat untuk mendukung perjuangan petani Kendeng. Yaitu terkait dengan alasan kelestarian alam. Buya mempertimbangkan aspek konflik ekologis dan konflik social sekaligus. Dampak paling dekat dari pembangunan pabrik semen ini adalah kehilangan sumber mata air. “Air itu kan mendasar sekali,” kata Buya Syafii.
Buya lalu menyarankan bagi lembaga atau NGO termasuk Muhammadiyah secara kelembagaan, jika ingin mengadvokasi kasus ini, maka harus memahami betul tentang segala permasalahan yang ada. “Harus dipelajari dulu, baru bersikap,” katanya. Tidak bisa berangkat dari analisis yang dangkal.
Kasus lain yang disoroti Buya adalah terkait dengan konflik silang-kepentingan di beberapa organisasi, terutama organisasi kepemudaan. “Pasti ada kepentingan duniawi,” ujar Buya. “Keseluruhan generasi Indonesia tidak siap menjadi pemimpin.” Buya Syafii merasa prihatin dengan mental para generasi muda yang semakin terjebak dalam kepentingan sesaat.
“Idealisme tidak ada sekarang. Semua pragmatisme dengan memakai nama Tuhan,” tegas Buya. Sekilas terlihat gurat wajah pesimisme dan sekaligus optimisme dari orang tua ini. Kepeduliannya pada permasalahan bangsa masih belum juga luntur. Padahal jika mau, bisa saja dia bersantai ria. Berhenti memikirkan nasib masa depan bangsa.
Baca: Petuah Buya Syafii Maarif untuk Generasi Muda: Tuhan tidak Netral dalam Sejarah
“Saya rasa sekarang sudah tidak ada keteladanan lagi.” Buya berharap kondisi ini tidak berlangsung lama. Bangsa ini tidak boleh kehilangan figure teladan dalam waktu lama. “Kalau terus-menerus, ini menggali kuburan masa depan bangsa kita sendiri,” tutur Buya Syafii mengakhiri. Tak berapa lama, tiga tamu Buya pun tiba (Ribas).