Perhatian dan kepedulian umat Islam terhadap lingkungan masih kurang, baik secara perseorangan (indvidu) maupun organisasi (institusional). Mereka baru sadar pentingnya lingkungan jika terjadi bencana dan itupun segera terlupakan ketika bencana telah lewat dan aman kembali.
Untuk membicarakan hal ini, Lutfi Effendi dari Suara Muhammadiyah menghubungi Prof Dr Ir Muhjidin Mawardi M Eng (Guru Besar Universitas Gajah Mada Rekayasa Pertanian dan Bio Sistem bidang keahlian rekayasa tanah dan air). Ia yang juga Ketua Majelis Lingkungan Hidup PP Muhammadiyah mengatakan perlu perubahan mindset (pola pikir) umat Islam dalam memandang lingkungan. Selanjtnya simak berikut ini:
Bagaimana perhatian umat Islam terhadap masalah lingkungan hidup?
Baik secara individu maupun institusionil perhatian umat Islam kepada lingkungan masih sangat kurang. Bahkan masalah lingkungan ini cenderung terpinggirkan ketimbang masalah-masalah lainnya.
Kenapa?
Pertama, masalah kesadaran umat Islam yang kurang terhadap masalah-masalah lingkungan ini ketimbang masalah yang lain. Kedua, masalah mindset atau pola pikir umat. Pola pikir umat cenderung jangka pendek, sedangkan masalah lingkungan itu jangka jauh atau jangka panjang.
Dua hal ini, kesadaran dan mindset, saling berkelindan, saling menguatkan antara satu dengan lainnya. Sehingga masalah lingkungan ini semakin jauh dari umat dan semakin terpinggirkan dari institusi-institusi Islam.
Umat atau institusi baru sadar jika ada bencana, karena kerusakan lingkungan. Kesadaran ini pun kadang hanya sesaat karena mindsetnya belum berubah. Dan tahu-tahu ada bencana lagi dan ini terus berulang.
Bisa dicontohkan kedua persoalan itu?
Kesadaran bahwa memelihara lingkungan itu beribadah, misalnya, itu sangat kurang. Yang mereka tahu beribadah itu, sholat, zakat dan ibadah-ibadah yang lain. Padahal memelihara lingkungan itu juga ibadah, karena memelihara lingkungan itu memelihara kehidupan.
Memelihara kehidupan ini ini kan erat kaitannya dengan mindset jangka panjang. Bagi mereka yang mindsetnya jangka pendek jelas tidak penting. Yang mereka pentingkan jangka pendek, seperti masalah ekonomi, politik dan lain-lain yang ada di depan mata. Meski apa yang mereka lakukan untuk memenuhi jangka pendek itu sering merusak lingkungan.
Padahal pesan-pesan untuk memelihara lingkungan itu bertebaran di dalam Al Qur’an. Tetapi masalah lingkungan ini sering terabaikan.
Bisa dicontohkan pesan yang ada dalam Al Qur’an?
Yang paling dekat saja ada di dalam surat Al Baqarah ayat-ayat awal. Masalah lingkungan ini ada di ayat 11 dan 12.
Al Baqarah ayat 11 disebutkan: “Dan apabila dikatakan kepada mereka “Janganlah kamu membuat kerusakan di muka bumi” Mereka menjawab: “Sesungguhnya kami orang-orang yang mengadakan perbaikan”.
Al Baqarah ayat 12 disebutkan: “Ingatlah sesungguhnya mereka itulah orang-orang yang membuat kerusakan, tetapi mereka tidak sadar.”
Pesan ayat-ayat ini kan jelas, orang tidak boleh membuat kerusakan di muka bumi, termasuk lingkungan, meski dengan alasan perbaikan, dengan alasan pembangunan. Pesan-pesan demikian sering tidak sampai kepada umat, karena ulama atau da’inya cenderung hanya menyampaikan pada hal-hal yang menyangkut ibadah mahdhah saja.
Bagaimana agar pesan-pesan lingkungan ini sampai kepada umat?
Yang jelas pesan-pesan lingkungan dalam Al Qur’an ataupun Hadits itu harus sampai kepada umat. Karenanya harus disampaikan dalam ceramah-ceramah yang terkait dengan keagamaan.
Saya melihat yang paling efektif adalah khutbah Jumat yang diberikan oleh khotib pada saat shalat Jumat. Sebab pada saat itu, para muslimin ada kesadaran untuk datang ke masjid memenuhi kewajiban agama. Meski tidak menafikkan forum-forum agama lain seperti pengajian.
Karenanya, perlu ada bahan-bahan khutbah yang materinya menyangkut lingkungan ini. Dalam hal materi khutbah ini, Muhammadiyah melalui Majelis Lingkungan Hidup sudah mulai menyusun materi khutbah yang ada kaitannya dengan lingkungan.
Sejauh ini bagaimana kesadaran institusi Islam atau Ormas Islam, misalnya Muhammadiyah?
Secara umum, ormas-ormas Islam memang belum begitu memperhatikan masalah lingkungan ini. Muhammadiyah sendiri, baru ada kesadaran untuk menangani secara serius setelah Muktamar Muhammadiyah ke-45 di Malang pada tahun 2005. Saat itu mulai membentuk Badan atau Lembaga Lingkungan Hidup.
Baru kemudian pada Muktamar Muhammadiyah Yogyakarta tahun 2010 menjadi Majelis dan dilanjutkan pada Muktamar Muhammadiyah Makassar 2015 ini. Itupun belum semua wilayah mempunyai kesadaran yang sama untuk ikut mengelola lingkungan di sekitarnya.
Belum semua Pimpinan Wilayah Muhammadiyah (PWM), terutama di luar Jawa, membentuk Majelis Lingkungan Hidup. Padahal jika diperhatikan, wilayah-wilayah tersebut mempunyai masalah lingkungan yang perlu diperhatikan.
Apa kendalanya?
Umumnya mengeluhkan sumber daya manusia (SDM) yang minim untuk menangani masalah lingkungan. Mereka berpikir bahwa untuk mengurusi masalah lingkungan itu haruslah ahli lingkungan atau yang biasa berkecimpung di dalam lingkungan.
Padahal masalah lingkungan ini masalah kita semua yang menyangkut hajat hidup orang banyak. Persoalan ini dapat diurus orang yang berlatar belakang hukum atau ekonomi yang SDMnya melimpah di wilayah. Kedua keahlian itu dekat juga dengan masalah-masalah lingkungan.
Kendala lainnya adalah mengubah mindset kader-kader tua untuk bisa berpola pikir ramah lingkungan. Ini menjadi kendala tersendiri untuk mengembangkan prilaku ramah lingkungan.
Bagaimana mengatasi kendala yang terakhir ini?
Jika yang tua sudah sulit mengubah mindset maka perlu terobosan dengan mengubah atau membentuk mindset yang muda atau malah mulai dari anak-anak. Cara membentuk mindset ini lebih mudah daripada mengubahnya.
Untuk membentuk mindset ini lebih baik melalui anak-anak, melalui pendidikan. Beberapa sekolah sudah memulainya melalui sekolah adiwiyata, sekolah yang memperhatikan lingkungan. Anak-anak dibiasakan untuk memperhatikan lingkungan, merawat lingkungan lewat pembiasaan di sekolah.
Bahkan saat ini sudah dikembangkan untuk memperhatikan lingkungan luar sekolah. Anak-anak diajak jalan-jalan dengan membawa kantong sampah. Mereka memunguti sampah di jalan-jalan yang mereka lalui. Tentu saja sampah-sampah yang tidak pada tempatnya.
Mudah-mudahan pembiasaan ini dapat membentuk mindset anak terhadap lingkungan menjadi lebih baik ketimbang generasi sebelumnya.
Bukankah Muhammadiyah telah membuat fikih untuk menunjang kerja-kerja terkait lingkungan?
Ya, Majelis Lingkungan Hidup bekerjasama dengan Majelis Tarjih telah membuat perangkat aturan untuk menunjang kerja-kerja lingkungan dari sisi agama. Beberpa fikih telah berhasil disahkan, antara lain fikih lingkungan dan fikih air. Tetapi inipun belum bisa mengubah mindset kader terhadap lingkungan. Masih perlu pemasyarakatan dan kesabaran untuk memasyarakatkan peduli lingkungan ini.
Selain dukungan dari sisi agama ini, Muhammadiyah juga telah membuat perangkat aplikatif lainnya untuk bisa memperhatikan lingkungan ini. Misalnya perangkat audit lingkungan mandiri atau alim. Dengan perangkat alim ini, pengelola gedung Muhammadiyah sudah dapat mengetahui apakah gedungnya ramah lingkungan atau tidak. Dengan menerapkan alim ini diharapkan gedung-gedung Muhammadiyah menjadi ramah lingkungan.
Selain kerjasama dengan Majeliis Tarjih, Majlelis Lingkungan Hidup juga bekerjasama dengan Lembaga Penanggulan Bencana dan Lazismu. Terutma ini dilakukan dalam hal pemulihan lingkungan pasca terjadinya bencana.
Memang masih perlu waktu panjang untuk bisa mengubah mindset tetapi itu harus terus kita lakukan. (eff)
——
Biodata Prof Dr Ir Muhjidin Mawardi Ir, M Eng (Professor UGM in Agricultural and Biosystems Engineering bidang keahlian rekayasa tanah dan air).
Pendidikan : Doctor, Irrigation Management Project, Kyoto University, Japan, 2003 – Present, Master, Soil and Water Conservation Engineering, Asian Institute of Technology, Bangkok, Thailand, – Present, Undergraduate, Mekanisasi Pertanian / Teknologi Pertanian, Universitas Gadjah Mada, Indonesia, – Present Madrasah Muallimin Muhammadiyah Yogakarta. Penghargaan: Dosen Teladan ke 1 UGM, Universitas Gadjah Mada, 1986. Juara 1 Penataran P4 bagi dosen dan karyawan, Universitas Gadjah Mada, 1979.