Optimalisasi Zakat, Umat Harus Dibenahi Pemahaman Keislamannya

Optimalisasi Zakat, Umat Harus Dibenahi Pemahaman Keislamannya

JAKARTA, Suara Muhammadiyah-Indonesia dengan jumlah Umat Muslim yang menduduki presentase 80 persen lebih dari total penduduk, menurut penelitian Baznas di tahun 2015 memiliki potensi zakat  sebesar Rp 286 triliun. Namun dalam realisasinya, kurang lebih hanya kurang dari 1 persen yang terhimpun. Menurut Ketua PP Muhammadiyah Hajriyanto Y Thohari, permasalahan tersebut terletak pada pemahaman keagamaannya khususnya tentang kewajiban berzakat umat Islam Indonesia yang harus dibenahi kembali.

“Zakat itu  hukumnya wajib, ironisnya amalan-amalan sunnah seperti kurban dan umroh lebih banyak jumlahnya. Padahal seruan untuk berzakat di dalam al-Qur’an selalu disandingkan dengan seruan untuk mendirikan shalat malah tidak mendapat perhatian besar,” tuturnya dalam Talkshow Optimalisasi Zakat Menuju Indonesia Berkemajuan yang diselenggarakan oleh Lazismu dalam Launching Zakat Outlook 2017 di Hotel Aryaduta, Jakarta Jum’at (13/1).

Tidak salah, menurut laporan Lazismu yang dilontarkan oleh Direktur Lazismu Andar Nubowo, dari total penghimpunan zakat Lazismu di tahun 2016 sebanyak Rp 440 Milyar, Rp 350 Milyar di antaranya berasal dari Kurban.

“Seharusnya di antara seruan hayya ala shalah dan hayya alal falah disisipkan hayya ala zakat. Dalam pemahamannya, bagaimana kemenangan dalam ‘al-falah’ sendiri tidak bisa terwujud tanpa adanya kesadaran untuk berzakat?” lanjut Hajri.

Oleh karenanya, tugas Lazismu sebagai LAZ Nasional harus mampu mensosialisasikan hal-hal terkait dengan urusan zakat agar masyarakat mampu memiliki pemahaman yang baik sekaligus kepercayaan dengan lembaga zakat yang ada di Indonesia.

“Zakat harus benar-benar disosialisasikan agar masyarakat bisa paham. Lembaga zakat punya tugas besar bagaimana mengisntitusionalisasi diri menjadi lembaga yang akuntabel dan mampu menciptakan rasa percaya umat Islam terhadap lembaga zakat,” katan Hajri.

Disamping masalah pemahaman keagamaan yang masih menjadi kendala dari pengotimalisasian potensi zakat di Indonesia, tantangan lain terletak pada faktor politik. Menurut Hajri, di Indonesia pembicaraan tentang zakat sendiri baru ada mendekati masa reformasi. Undang-undang Zakat sendiri dikeluarkan untuk petama kalinya pada tahun 1999.

“Secara politik, dorongan dan upaya untuk betul-betul memberdayakan zakat dengan kesadaran politik secara nasional belum lama ada. Negara pun peduli baru-baru saja,” imbuhnya.

Padahal, menurut Hajri, pemerintah Indonesia sangat terbantu dengan kuatnya kondisi sosial kekerabatan masyarakat Indonesia yang dikatakannya memiliki karakter extended family, berbeda dengan Amerika yang memiliki karakteristik nuclear family

“Sistem kekerabatan sangat tinggi. Pemerintah ditolong oleh sisten zakat dan sistem sosial. Jika tidak, mungkin kemiskinan Indonesia bisa sebesar Mesir dengan angka 41 persen,” tukasnya (Th).

Exit mobile version