JAKARTA, Suara Muhammadiyah- Permasalahan belum optimalnya potensi zakat di Indonesia menurut Hilman Latief, Ketua Badan Pengurus Lazismu terletak pada gaya memberi masyarakat Indonesia yang masih bersifat Individual. Mereka merasa lebih puas ketika mampu memberi secara langsung kepada yang membutuhkan dari pada menghimpunnya melalui lembaga zakat. Menurut laporan Majalah Forbes, bangsa Indonesia disebut sebagai dermawan no 2 di dunia.
“Lembaga filantropi harus mengedukasi apa yang disebut zakat dan memberi itu,” tuturnya di Hotel Aryaduta Jakarta, dalam bincang Optimalisasi Zakat Menuju Indonesia Berkemajuan yang diselenggarakan oleh Lazismu pada Launching Zakat Outlook 2017, Jum’at (13/01).
Di samping pola memberi yang sifatnya masih individual tersebut, kelemahan lembaga zakat di Indonesia juga ada dalam hal pencacatan. Karena, tidak dapat dipungkiri bahwa banyak dari masyarakat di Indonesia yang tidak memberikan keterangan nama sang muzakki atau pemberi zakat. Sehingga, tidak jarang lembaga zakat sulit mengidentifikasi pendonor. Padahal, database sendiri merupakan indikator dari sistem filantropi modern.
“Kalau ditanya semua bilang membayar zakat, tapi bagaimana mereka membayar kita tidak tau karena tidak tercatat dengan baik. Dengan minimnya data atau kebiasaan memberikan nama ‘hamba allah’ menyulitkan untuk menghubungi pendonor,” lanjutnya.
Hilman pun menegaskan bahwa kewajiban berzakat bukan hanya masalah menunaikan kewajiban individu, namun juga kewajiban membangun kesadaran kolektif. Lembaga Amil dan Zakat lah yang berperan dalam memberikan perubahan kolektif tersebut. Sehingga, yang harus ditekankan dalam edukasi bukan hanya dampak spiritual saja yang mampu didapatkan oleh pemberi, namun seberapa besar gaya memberi secara kolektif itu mampu memberikan perubahan dalam kesadaran sosial masyarakat yang lebih luas.
“Berbicara zakat berbicara perubahan kolektif. Apakah dengan cara memberi yang kita lakukan mampu menghadirkan perubahan secara kolektif atau tidak?”
Senada dengan itu, Hamid Abidin dari Public Interest Research and Advocacy Center (PIRAC) mengatakan bahwa di samping kecenderungan memberi secara langsung atau direct giving seperti memberi santunan kepada pengemis, gelandangan dan lain-lain mampu membantu, namun di sisi lain menimbuklan problem baru.Menurutnya, perlu ada donor education yang menekankan tentang pentingnya pentingnya sedekah jamaah.
Selain itu harus dibedakan antara Philanthropy dan Charity. Charity tidak mampu melakukan program-program yang terorganisir. Dengan kegiatan filantropi yang karakternya lebih terorganisir, dana bisa dialokasikan untuk program strategis dan jangka panjang,” katanya.
Ke depan, menurut Hilman, yang akan diterapkan oleh Lazismu bukan hanya yang disebutnya dengan filantropi inovatif, namun filantromi agresif dalam menghimpun zakat. Lazismu yang baru saja dikukuhkan kembali menjadi Lembaga Amil Zakat (LAZ) Nasional berhasil melampaui target penghimpunan zakat yang telah ditetapkan yaitu sebanyak Rp 250 Milyar dengan total penghimpunan Rp 440 Milyar di tahun 2016. Di tahun 2017 ini Lazismu menargetkan total penghimpunan zakat sebesar Rp 800 Milyar.
“Termasuk, bekerjasama dengan kalangan kreatif. Lazismu juga harus mampu merawat hubungan yang baik dengan donator. Karena kita juga Ingin ada beberapa proyek yang melibatkan pendonor sehingga dari sana ada engagement lebih,” tandas Hilman (Th).