Sikapi Kondisi Kebangsaan yang Saling Menafikan, Din Syamsuddin Sarankan Dialog

Sikapi Kondisi Kebangsaan yang Saling Menafikan, Din Syamsuddin Sarankan Dialog

MALANG, Suara Muhammadiyah– Ketua Dewan Pertimbangan Majelis Ulama Indonesia (MUI), Din Syamsuddin membesuk anggota Dewan Pertimbangan Presiden (Watimpres) KH Hasyim Muzadi di RS Lavalette, Kota Malang, Jawa Timur, Senin (16/1). Ketua umum PP Muhammadiyah periode 2005-2015 itu ikut mendoakan kesembuhan ketua umum PBNU periode 1999-2010.

Usai membesuk Hasyim Muzadi, Din menyatakan bahwa dirinya dan Kiai Hasyim, menyatakan keprihatinannya atas kondisi kehidupan berbangsa belakangan ini. “Kami prihatin melihat kondisi kehidupan berbangsa saat ini. Terutama antar kelompok yang mengklaim kebenaran dan menafikan kebenaran di pihak lain,” ujar Din.

Menurut Din, pemicu dari carut-marut kondisi kekinian salah satunya adalah akibat dari terlukainya perasaan umat Islam oleh pernyataan Gubernur DKI Jakarta non-aktif Basuki Tjahaja Purnama alias Ahok, di Pulau Seribu, yang kemudian memicu reaksi di berbagai tempat.

Reaksi umat islam itu merupakan akumulasi dari perasaan keadilan dan kesenjangan di bidang perekonomian. Sebab sektor ekonomi nasional saat ini hanya dikuasai oleh segelintir orang saja. Sementara kondisi ekonomi umat islam sebagai mayoritas sangat terpuruk. Kondisi ini sangat memprihatinkan sehingga dibutuhkan peran negara.

“Saya pribadi pernah sampaikan kepada Presiden, bahwa reaksi umat Islam karena akumulasi kesenjangan yang terjadi, serta terjadinya keterpurukkan ekonomi umat Islam hingga sulit dibangkitkan, kecuali ada keterpihakan dari negara,” tutur Din.

Selain kesenjangan ekonomi, factor lainnya dipicu oleh perasaan ketidakadilan dalam hukum. Ada indikasi dan bukti beberapa nama pejabat kebal hukum dan bebas melakukan kesalahan. Akibatnya, masyarakat berfikiran orang yang terindikasi dengan hukum dilindungi negara, padahal, pemerintah sudah menyatakan kesamaan posisi di hadapan hukum.

Jika tidak dicarikan jalan keluar, kata Din, maka akan menyimpan potensi bom waktu. Bisa meledak sewaktu-waktu. Oleh karena itu, sebagai solusi, dibutuhkan sikap netralitas pemerintah. “Diupayakanlah dialog, dan jangan ada keberihakan untuk satu kelompok saja,” jelasnya.

Negara, kata Din, harus berada di atas semua kelompok. Negara berfungsi sebagai pengayom yang tidak dapat hanya hadir pada satu kelompok saja. “Makanya saya sarankan, negara harus hadir sebagai penegak keadilan yang sejati. Disisi negara mesti hadir dengan netral, baik kementerian, kepolisian perlu berkeadilan jangan sampai berpihak,” tandasnya.

Jika negara tidak mengayomi dan berdiri di atas semua golongan, maka masing-masing kelompok akan saling menunjukkan kekuatannya. Keadaan ini tentu tidak diinginkan dalam kehidupan bernegara.

“Sudah saya sarankan dilakukan segera upaya-upaya dialog, bukan dialektika. Apalagi sekarang, terakhir di Bandung, antar pihak saling menyerang. Karena itu perlu intensif dialog,” ujar Din (Ribas/BS).

Exit mobile version