YOGYAKARTA, Suara Muhammadiyah-Pada tahun 657 Masehi, Perang Shiffin berkecamuk. Genderang perang yang terjadi setelah 25 tahun wafatnya nabi Muhammad ini melibatkan kader terbaik didikan Nabi. Setahun sebelumnya, pada 7 November 656 Masehi, terjadi perang Jamal (Unta). Ali bin Abi Thalib, Zubair bin Awwam, hingga Aisyah merupakan di antara nama yang terjun langsung dalam dua perang saudara itu.
“Perang elit Arab muslim itu telah menciptakan kotak-kotak polarisasi umat Islam sampai sekarang,” tutur Buya Syafii Maarif, di kantor redaksi Suara Muhammadiyah, Rabu (18/1) siang. Menurut Buya, konflik sektarianisme yang diwariskan ke seluruh dunia muslim itu sama sekali tidak terkait dengan wahyu. “Gak ada hubungannya dengan al-Quran, dengan nabi, tapi kita anggap itu agama,” kata Buya Syafii.
Baca: Sikapi Persoalan Bangsa, Buya Syafii Maarif: Idealisme Tergantikan dengan Pragmatisme
“Kita jarang merenungkan betul perang Unta. Itu yang terlibat kader nabi semua.” Jika ditinjau dari sisi ajaran al-Quran tentang merebaknya konflik politik dan sektarianisme berkepanjangan di dunia Muslim dalam skala kecil atau skala besar, kita akan gagal menemukan satu ayat pun dalam Kitab Suci ini yang dapat digunakan sebagai alasan pembenaran, ujar Buya Syafii dalam sebuah tulisannya.
Ketua Umum PP Muhammadiyah 1998-2005 itu selalu gelisah dengan pertikaian antar sesama muslim yang kerap terjadi. Terutama pertikaian yang membawa nama agama dan nama Tuhan untuk membenarkan kelompoknya. Peradaban Bani Umayyah dan Bani Abbasiyah meskipun pernah mencapai masa gemilang dan kejayaan dalam bidang ilmu pengetahuan, namun tetap membawa masalah dalam urusan kemanusiaan yang saling menafikan.
Baca: Buya Syafii Maarif: Hentikan Proses Pabrik Semen di Rembang!
“Telah muncul semacam Arabisme salah jalan (misguided Arabism) di masa awal itu yang ironisnya berlangsung sampai hari ini,” ungkap Buya. Sebagai penyebabnya, Buya Syafii menyebut bahwa kesadaran sejarah umat Islam sangat lemah. “Buku-buku sejarah yang diajarkan begitu-begitu saja,” katanya.
Padahal, sejarah Islam harusnya dibedah dan dibuka secara netral dan apa adanya. “Sejarah Islam jangan dilihat sisi terangnya saja. Sisi gelapnya juga perlu dibaca. Kesadaran sejarah umat Islam amatlah lemah, termasuk saya,” ujar Guru besar sejarah Universitas Negeri Yogyakarta itu.
Baca: Petuah Buya Syafii Maarif untuk Generasi Muda: Tuhan tidak Netral dalam Sejarah
Dalam sebuah tulisannya, Buya menyebut bahwa kotak-kotak pemicu sengketa ini tidak mungkin dilenyapkan jika analisis kesejarahan kita tidak dibentuk oleh al-Quran dengan bantuan ‘aqlun shahih wa qalbun salim (otak yang sehat dan benar dan hati yang tulus dan bening)
Melihat berbagai fenomena itu, Buya Syafii mengajak umat Islam untuk keluar dari kotak. “Kalau masih dalam kotak itu, susah membangun peradaban,” ujarnya. Buya mengajak umat untuk merekonstruksi sejarah dan pemahaman terhadap sejarah Islam.
Buya juga mengingatkan bahwa kotak Sunni maupun kotak Syiah masih terlalu mengunggulkan paham keagamaannya. Meskipun dalam tahap tertentu, ilmu pengetahuannya maju, namun jika tidak dibarengi dengan rasa kemanusiaan, maka hasilnya akan nihil.
Baca: Syafii Maarif: Dari Tukang Tambal Ban Saya Bisa Memetik Pelajaran
Selain karena terperangkap dalam misguided Arabism, penyakit peradaban di dunia, menurut Buya terjadi karena tiga factor. Yaitu kemewahan, kemakmuran, dan kerakusan.
Buya Syafii menaruh harapan pada generasi muda dan intelektual yang telah tercerahkan. Terutama intelektual Muhammadiyah. Keberanian untuk berpikir di luar kotak adalah kuncinya. “Para intelektual harus berkeringat betul. Kalau tidak, tidak ada yang bisa diharapkan,” kata Buya (Ribas).