Oleh: Roni Tabroni*
Ada dua persoalan informasi pelik akhir-akhir ini yang mengguncang bangsa ini. Pertama terkait dengan perilaku penguasa yang memberangus media-media (Islam) online, kedua, perihal dunia media sosial yang diisi informasi palsu (hoax). Keduanya menjadi fenomena paling menarik dalam dunia informasi kita, di tengah proses demokratisasi yang begitu terbuka.
Secara detail kita bisa memperbincangkan dua fenomena ini lebih panjang lagi. Hanya saja, setidaknya kita melihat kasus pertama dari dua sisi yang berbeda. Pertama, kasus pemberangusan media massa Islam diakibatkan paranoid terhadap Islam dengan simbol-simbolnya. Tidak adanya klarifikasi tentang konten yang dipersoalkan, menunjukkan kelemahan pemerintah dalam menghentikan laju media sebagai sarana kebebasan berkespresi dan berpendapat.
Walaupun demikian, kasus ini juga secara teknik layak mendapat outokritik, sebab di dalamnya ada kelemahan. Setiap media massa yang selayaknya terdaftar di dewan pers, banyak di antara media massa Islam online yang tidak terdaftar. Walaupun demikian, alasan Kominfo juga terbantahkan karena ada yang terdaftar tetapi tetap kena pinalti.
Kelemahan kedua biasanya masalah konten. Media massa Islam tidak sedikit yang menyampaikan pesan secara hitam-putih. Permainan kata kurang terkemas dengan baik sehingga banyak pihak yang tersinggung, tidak suka, kemudian cenderung memusuhinya. Sebelum pesannya terbaca dengan tuntas, orang lain sudah menghindarinya.
Namun, dalam konteks kehidupan berbangsa dan bernegara yang dilandasi semangat demokrasi, sebenarnya ada fungsi pembinaan yang baiknya diperankan oleh negara. Baik Kominfo maupun dewan pers sebaiknya menjadikan media massa Islam sebagai potensi positif, sebagai sarana penyeimbang informasi bagi publik. Jika dikelola dengan baik, maka masyarakat akan lebih sehat dalam mendapatkan informasi.
Di sini kita akan melihat sesuatu yang hilang. Publik yang selayaknya mendapat banyak pilihan, menjadi berkurang karena keangkuhan penguasa. Edukasi masyarakat demokratis berada di pribadi-pribadinya masing-masing. Negara sebaiknya menjamin setiap publik mendapat hak informasi yang beragam. Bukan dalam konteks fitnah-memfitnah, tetapi persoalan perspektif, angel dan framing media memang patut dihargai. Jika negara tidak suka dikritik lalu melakukan pemberangusan semena-mena, maka jujur bahwa kita sedang mengalami kemunduran.
Persoalan kedua terkait dengan munculnya tradisi hoax di jagat maya. Masyarakat kini sudah dikepung berbagai informasi dari media sosial yang entah benar atau tidak. Teks dan gambar membaur memberikan pengaruhnya tanpa mampu diverifikasi secara terbuka tentang kebenarannya. Tidak sedikit yang telah menjadi korban, baik perorangan, kelompok, bahkan juga negara.
Kasus yang satu ini memang unik. Orang menganggap bahwa hoax adalah penyeba dari persoalan yang ada. Jika diizinkan, saya justru melihat hoax merupakan akibat. Akibat dari keterbelakangan pengetahuan dan wawasan warga negara. Rata-rata pendidikan rendah rakyat Indonesia, harus bermain dengan media sosial yang menyajikan berbagai fitur, maka yang lahir adalah konten yang negatif.
Masyarakat dengan pendidikan tinggi pun kini tidak berbanding lurus dengan kebiasaannya membaca buku. Referensi instant menjadi kebiasaan (sebagian) mahasiswa di negara ini. Maka konten-konten yang singkat dengan mengedepankan gambar dan video akan menjadi bagian kehidupannya, dibanding harus membaca buku atau naskah yang membosankan.
Kampanye anti hoax dalam perspektif ini menjadi lucu, jika tidak dibarengi upaya peningkatan kwalitas Sumber Daya Manusia (SDM), termasuk meningkatkan minat bacanya. Naluri manusia mencari sesuatu yang sensasional. Kemudahan teknologi membuat orang berbaur menjadi bagian darinya. Jika tidak punya filter berupa ilmu pengetahuan, maka siapapun bisa terbius olehnya. Dia akan menjadi pencipta pesan atau menjadi korban pesan bohong.
Maka kampanye gerakan literasi yang digagas Muhammadiyah atau Majelis Pustaka dan Informasi (MPI) secara khusus memiliki relevansinya. Di sini visi pembangunan SDM tidak bisa lepas dari gerakan literasi yang sudah terbukti membuat dunia menjadi lebih beradab. Kehebatan Barat dan Eropa diakui akibat dari tradisi literasi yang tinggi di dunia Islam pada abad pertengahan.
Apa yang dilakukan Muhammadiyah dengan gerakan literasinya, akan membangun sebuah tradisi baru untuk membangun peradaban manusia yang terbebas dari berbagai kebohongan dan kepalsuan. Masyarakat beradab tidak mungkin menyebarkan fitnah dan kebencian. Begitupun masyarakat beradab tidak mudah mempercayai informasi sekilas yang hanya terdiri dari beberapa kata saja.
Gerakan kultural Muhamamdiyah yang digagas KH Ahmad Dahlan menjadi sangat aktual, di tengah kegalauan publik untuk menentukan arah informasi di jagat maya. Baik dalam konteks media massa Islam maupun isu berita hoax, pilihan Muhammadiyah untuk menggarap kwalitas SDM lewat dunia pendidikan (salah satunya) menjadi tidak terbantahkan. Namun, karena dunia informasi kini menghadapi tantangan yang jauh lebih pelik, maka program baru seperti seperti gerakan literasi menjadi sangat mendesak.
Gerakan literasi diharapkan dapat berkontribusi pada peningkatan kwalitas informasi yang semakin sesak ini. Dengan prinsip kejujuran, objektifitas, dan berorientasi pada kepentingan ummat, gerakan literasi ini diharapkan dapat meningkatkan kepercayaan publik akan sebuah pencerahan yang berimbang, sebab pada dasarnya setiap orang berhak untuk mendapatkan informasi yang sehat dan mencerahkan.
————————-
*Penulis adalah Wakil Sekretaris Majelis Pustaka dan Informasi (MPI) PP Muhammadiyah