YOGYAKARTA, Suara Muhammadiyah-Kewenangan Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) untuk mengevaluasi suatu kebijakan pemerintah belum terlalu banyak dimanfaatkan oleh masyarakat. Sebaliknya, komponen masyarakat lebih sering menyuarakan aspirasinya melalui aksi demonstrasi.
Penulis buku Paradigma Baru PTUN: Respon Peradilan Administrasi Terhadap Demokratisasi, Irfan Mawardi menuturkan, jumlah penanganan kasus di PTUN masih sedikit jika dibandingkan dengan lembanga pengadilan lain. Setiap tahun PTUN hanya menangani 2.000-an kasus. Jumlah ini lebih sedikit dibandingkan dengan kasus di PTUN Korea Selatan yang penduduknya hanya 1/5 penduduk Indonesia.
“Itu pun didominasi oleh kasus sengketa tanah. Hampir 90 persen memang kasus di PTUN itu soal sengketa tanah,” ujar Irfan dalam acara bedah buku Paradigma Baru PTUN: Respon Peradilan Administrasi Terhadap Demokratisasi, di gedung PP Muhammadiyah, Jalan Chik Ditiro, Yogyakarta, Sabtu (21/1). Acara ini diselenggarakan oleh MPM PP Muhammadiyah dan FH Pascasarjana UMY.
Rendahnya jumlah kasus yang masuk ke PTUN, ujar Irfan, menjadi dilema tersendiri bagi perkembangan demokrasi di Indonesia. Kondisi ini menunjukkan masyarakat Indonesia belum memanfaatkan keberadaan PTUN secara optimal dalam menyampaikan aspirasinya. Menurut UU, PTUN harusnya menjadi sarana untuk menguji akuntabilitas, transparansi dan kebijakan pemerintah. Sebagai Pengadilan Tingkat Pertama, Pengadilan Tata Usaha Negara berfungsi untuk memeriksa, memutus, dan menyelesaikan sengketa Tata Usaha Negara.
Oleh karena itu, dibutuhkan edukasi dan sosialisasi kepada masyarakat tentang pentingnya menyelenggarakan kasus sesuai dengan konstitusi. “Yang diuji di PTUN adalah kebijakan negara yang berpotensi mengancam hak rakyat,” ujarnya. Sehingga keberadaan PTUN bisa menjadi peluang besar bagi masyarakat.
Tidak hanya masyarakat. Ormas juga jarang memanfaatkan PTUN. “Bahkan lembaga besar seperti NU dan Muhammadiyah tidak pernah mengajukan perkara ke PTUN. Saya belum pernah mendengar ormas besar seperti NU dan Muhammadiyah melakukan gugatan ke PTUN,” ujar hakim di PTUN Lampung itu.
Dalam kenyataannya, Muhammadiyah banyak mengaudiensi persoalan masyarakat yang notabene bisa diajukan ke PTUN. Seperti halnya gugatan kasus reklamasi, menurut Irfan, tidak datang dari masyarakat sipil. Namun dari unsur lembaga lainnya.
Sikap dan respon masyarakat yang sadar hukum dan menyelenggarakan perkaranya sesuai dengan aturan hukum merupakan suatu langkah positif. “Kalau hukum semakin dominan di masyarakat, maka hukum akan membimbing masyarakat,” ujar alumni FH Universitas Muhamadiyah Yogyakarta (UMY) itu.
Sementara itu, dosen UMY, Iwan Satriawan menuturkan rendahnya kasus yang masuk ke PTUN dilatarbelakangi oleh pendidikan dan pengetahuan masyarakat. “Bisa jadi PTUN juga kurang sosialisasi ke masyarakat karena banyak masyarakat kita yang masih bingung, kalau mau mengajukan kasus begini ke mana ya, kalau kasus begitu ke mana,” ujarnya.
Jika PTUN berjalan sebagaimana mestinya, maka pemerintah akan lebih terkontrol dalam mengeluarkan suatu kebijakan. “PTUN harus menjewer pemerintah supaya tidak sewenang-wenang membuat hukum,” kata Iwan. Sebaliknya, jika tidak dikontrol, maka rezim akan banyak merugikan rakyat dan sewenang-wenang (Ribas).