Oleh: Imam Shamsi Ali*
Kemarin, Jumat 20 Januari 2016, Amerika kembali mengalami pergantian kepemimpinan. Dari Presiden Husain Barack Obama (turn former) ke Presiden Terpilih Donald J. Trump (turn officially president of US). Saya tidak sempat melihat langsung pergantian dan pelantikan Donald Trump sebagai Presiden Amerika yang baru karena dalam perjalanan menuju Indonesia. Namun saya mengikuti dari dekat melalui berbagai sumber, khususnya media sosial.
Diakui oleh banyak pihak, bahkan menjadi perbincangan ramai, bahwa kedua presiden tersebut, Mr. Obama dan Mr. Trump, memilki karakteristik yang sangat paradoks. Mulai dari latar belakang kehidupannya, kampanye politik, suasana pelantikan, hingga posisi dalam berbagai kebijakan mendasar menyangkut kehidupan publik Amerika, bahkan dunia.
Barack Husain Obama adalah gabungan anak dari seorang Ibu Amerika putih asal Irlandia dengan seorang ayah berkulit hitam asal Kenya. Asal keturunan ini minimal simbolisasi komitmen domestik Obama dan global yang imbang. Antara Native American dan immigran yang kemudian larut dalam kesatuan Amerika (United States).
Presiden Obama juga pernah hidup di negara lain, dan kebetulan pula hidup di negara Muslim mayoritas Indonesia. Dia pernah merasakan hidup di tengah anak-anak Muslim, mendengar azan, bahkan boleh jadi pernah ikutan sholat di masjid (who knows). Dalam benaknya ada wajah-wajah orang Islam yang ramah, tersenyum dan bersahabat.
Barack Obama kemudian hidup di jantung kota Chicago, merasakan hidup sebagai Afro American yang masih merasakan tindakan diskriminatif warga putih. Beliau tumbuh dari kelas bawah, bergaul dengan masyarakat yang termarjinalkan. Dan itu sesungguhnya yang menjadi motivasi besar bagi beliau untuk berhasil, dan menjadikannya menembus salah satu universitas terbaik dunia, Columbia lalu Harvard University.
Setamat Harvard Obama terpanggil untuk berjuang menaikkan harga diri dan martabat masyarakatnya. Beliau menjadi aktifis sosial politik untuk memperjuangkan mereka yang termarjinalkan. Semangat aktivisme ini sesungguhnya yang membangun dorongan politik dalam diri Obama untuk memperjuangkan mereka yang termarjinalkan.
Oleh karenanya motto kampanye Barack Obama adalah “yes we can” (kita mampu). Sebuah motto yang selaras dengan latar belakang pertumbuhannya (up bringing) itu sendiri. Bahwa siapa saja di Amerika, apapun latar belakangnya baik secara etnis, agama, maupun status sosialnya mampu untuk menemukan impian Amerika (American Dreams) itu.
Gaya kampanye Obama yang didukung oleh karakter kepribadian dan pertumbuhan itu, semuanya mengarah kepada kesatuan dan kebersamaan. Sehingga tidak heran, jika Obama yang dinilai bagian dari minoritas itu, meraih simpati masyarakat luas (mayoritas) putih Amerika.
Pelantikan Barack Obama menjadi sebuah peristiwa besar yang dirayakan oleh bangsa Amerika sebagai sejarah besar. Bahwa untuk pertama kalinya seorang Afro American terpilih sebagai presiden negara adi daya itu. Pelantikan itu masih terasa gegap gempita, tidak saja di Amerika tapi hampir di berbagai belahan dunia.
Tapi yang terpenting dari semua itu, Barack Obama yang terpilih menjadi presiden setelah George W. Bush harus menerima realita jika beliau harus membangun kembali Amerika yang tercabik-cabik oleh tendensi egoistik perang Bush. Realitanya Barack Obama mampu menahan, bahkan mengangkat kembali Amerika dari keterpurukan itu.
Kebijakan-kebijakan publik yang diambilnya juga memihak kaum mustadh’afin. Satu di antara kebijakan itu adalah kebijakan “jaminan kesehatan” yang berhasil diloloskan setelah puluhan tahun diperjuangkan oleh beberapa presiden sebelumnya.
Donald J. Trump
Hari ini, Jumat 20 Januari 2016, resmilah Mr. Trump dilantik sebagai presiden Amerika yang baru. Seorang dengan sosok kepribadian yang kontras dengan Barack Obama. Kontras hampir dalam segala hal.
Donald Trump adalah anak dari seorang imigran putih yang berhasil dalam bisnis. Ayahnya sendiri memberikan modal besar 100 juta USD untuk memulai bisnisnya ketika itu. Tentu modal 100 juga dolar ketika adalah jumlah fantastik. Dengan kata lain, Donald Trump tidak pernah merasakan apa dan bagaimana rasanya hidup termarjinalkan.
Donald Trump juga tidak pernah hidup secara luas, bergaul dengan anak-anak dan pemuda dari kelompok etnis lainnya. Bahkan ada catatan sejarah yang mengatakan bahwa ayahnya yang ketika itu sudah terjun di bisnis properti tidak mau menyewakan apartemennya kepada kelompok non putih.
Donald J Trump juga, dalam pandangan pribadinya (personal views) terhadap orang lain, baik secara agama maupun etnis dianggap negatif. Terhadap Islam misalnya, walau selama ini punya koneksi bisnis dengan orang-orang Islam, tapi dalam pandangannya orang Islam adalah orang yang perlu dicirigai. Pandangan pribadi inilah yang menjadikannya kemudian mengeluarkan pernyataan-pernyataan yang menyanyakitkan bagi orang Islam.
Demikian pula terhadap warga minoritas etnik lainnya. Warga Mexico dan Hispanic secara umum menerima kenyataan pahit dengan tuduhan-tuduhan buruk seperti perampok, pemerkosa, dan lain-lain.
Jika kampanye Obama menyatukan, kampanye Trump jelas memecah belah. Bahkan ada sebagian mengatakan bahwa slogan kampanye Trump “Make America Great again” dimaknai sebagai mengembalikan “supremasi kulit putih”. Ini nampak jelas bahwa dalam sejarah negara ini baru ada kandidat yang secara terbuka didukung oleh kelompok KKK.
Berbeda dengan Barack Obama, yang kemenangannya dirayakan hampir di berbagai belahan dunia. Kemenangan Trump disambut oleh gelombang protes di berbagai kota Amerika. Bahkan pelantikan Donald Trump diwarnai oleh protes besar. Konon sehari setelah pelantikan itu akan ada women march, protes kaum wanita ke Washington DC Sabtu ini.
Mungkin yang terasa geli adalah pelantikan Donald Trump oleh sebagian dimaknai sebagai awal dari berakhirnya kepresidenannya. Terus terang belum pernah terlihat di manapun sinisme yang masyarakat setinggi itu.
Yang paling tragis dari semua itu adalah ancaman terhadap civil rights, kebebasan warga dalam mengekspresikan diri dan opini mereka. Disebut-sebut bahwa pasal hak-hak sipil telah dicabut dari website resmi kepresidenan Amerika.
Mungkin yang akan paling terasa oleh publik Amerika ke depan adalah rencana “political revenge” Donald Trump, yang didukung oleh mayoritas Republikan untuk menghapus apa yang selama ini dikenal dengan Obama Care.
Dan sederetan lagi kekhawatiran-kekhawatiran itu.
Tidaklah berlebihan, dua hari lalu saya sempat makan siang dengan seorang Rabi Yahudi yang berpengaruh di New York. Beliau mengatakan bahwa baru kali ini dia merasakan kekhawatiran yang besar terhadap negaranya. “I am not worried only for my community (Jewish). But I am worried about my country”‘ katanya.
Tentu kekhawatiran itu berdasar. Di tengah arus gelombang persaingan global, Rusia yang selama ini dinyatakan sebagai lawan kelas satu Amerika berhasil melakukan “infiltrasi” dan sedikit banyaknya mempengaruhi hasil akhir dari pemilu Amerika kali ini.
Lalu akan kemanakah Amerika 4 tahun ke depan? Bagaimana warna kebijakan domestik yang akan diambil oleh Donald Trump? Lalu kira-kira kemana akan mengarah kebijakan luar negerinya?
Jawaban yang pasti, jangan tanya pada rumput yang bergoyang. Hanya Tuhan yang tahu kemana arah berpikir sosok yang bernama Donald Trump ini.
Yang disayangkan memang adalah ketika ada pihak-pihak yang tergesa-gesa memberikan pujiannya kepada Donald Trump. Apalagi kalau pujian itu datang dari pejabat negara lain, khususnya Indonesia. Selain tidak pada tempatnya, juga bisa dianggap tidak sensitifitas (insensitive) baik kepada mayoritas bangsa Amerika itu sendiri, apalagi kepada masyarakat Muslim Indonesia dan dunia.
Akhirnya bagi kami warga Muslim di Amerika, kekhawatiran dan perasaan tidak menentu (uncertainty) itu ada. Tapi kami juga sadar bahwa Amerika bukan hanya seorang Donald Trump. Amerika adalah negara yang terbangun di atas dasar konstitusi yang solid di satu sisi. Dan sebuah negara dengan masyarakat yang yang menghormati keragaman dan toleransi.
Maka setelah membangun keyakinan kepada kekuasaan Tuhan, kami juga membangun keyakinan kepada konstitusi yang menjamin hak-hak dan kebebasan kami dalam beragama. Tentu juga tidak kalah pentingnya membangun “trust” bahwa memang ada kasus-kasus yang buruk dari kelompok kecil Amerika. Tapi di luar sana masih lebih banyak lagi orang-orang Amerika yang baik.
Sehingga harapan dan optimisme itu selalu ada. Bahwa di ujung terowongan panjang itu pasti ada cahaya dan akan kembali bersinar menyinari bumi Amerika dan alam semesta. Insya Allah!
Dubai, 21 Januari 2017
———————————–
*Penulis adalah Presiden Nusantara Foundation