Imam Shamsi Ali*
Baru saja meninggalkan kampung halaman, Indonesia, menuju kampung halaman lain, Amerika Serikat. Kunjungan saya kali ini cukup singkat. Tapi jadwal begitu ketat, serasa diperas tenaga dan pikiran ini. Tapi yang pasti, hati senang dan bahagia bisa melakukan aktifitas singkat itu di bumi Indonesia.
Ada satu hal yang barangkali cukup menggelitik, atau tepatnya mengganggu pikiran saya selama beraktifitas itu. Hampir di setiap kegiatan dialog, ceramah, diskusi, bahkan wawancara, ada pertanyaan-pertanyaan yang seolah jika kedua kampung halaman saya ini sudah minim harapan.
Anehnya pikiran yang cukup pessimis itu seolah sedang dialami oleh kedua kampung halaman itu. Tentu kampung halaman yang saya maksud adalah Indonesia dan Amerika Serikat.
Indonesia dianggap sedang mengkhawatirkan karena adanya “gesekan-gesekan” antar kelompok, yang tidak jarang melibatkan pemegang otoritas. Tidak jarang saya dengar pertanyaan atau keluhan jika Indonesia saat ini terancam disintegrasi dan perpecahan. Atau Indonesia saat ini sedang terancam oleh infiltrasi luar, tendensi ekstremisme Islam dari Timur Tengah misalnya.
Sementara Amerika ditenggarai sedang menghadapi musibah besar dengan terpilihnya Donald Trump sebagai presiden ke 45 Amerika Serikat. Dari karakter pribadinya, kontroversi cara pandang, hingga ke retorika politiknya dianggap mengancam eksisensi Amerika sebagai negara “super power” yang dibangun di atas fondasi konstitusi yang solid. Terpilihnya Donald Trump oleh sebagian di Indonesia dianggap ancaman terhadap nilai-nilai demokrasi universal, mengancam pilar-pilar kebebasan. Dan terpenting merendahkan nilai-nilai Amerika yang tinggi.
Tapi benarkah demikian? Benarkah jika kedua negara dan bangsa besar ini sedang berada di ambang permasalahan yang mengkhawatirkan? Apakah benar jika nilai-nilai kebebasan dan tolerasi telah minim di kedua negara itu?
Saya melihatnya tidak demikian. Justeru saya melihat kedua bangsa besar itu sedang menjalani ujian untuk naik kelas. Bahwa di setiap akhir semester pasti ada ujian. Melalui ujian itulah seseorang atau sekelompok orang akan menaiki jenjang selanjutnya dalam perjalanan hidupnya.
Kerukunan Beragama itu Darah Daging Bangsa
Saya tidak mengingkari adanya kasus yang mengganggu kerukunan itu di sana-sini, baik di Indonesia maupun di Amerka Serikat. Tapi satu hal yang ingin saya sampaikan bahwa jangaah kasus-kasus itu yang dianggap sebagai wakil dari negara dan bangsa secara keseluruhan. Sekuat apapun kecenderungan “intoleransi” pada kelompok tertentu dari sebuah bangsa hendaknya dilihat sebagai kasus dan bukan representasi bangsa itu sendiri.
Tendensi “jeneralisasi” ini yang terkadang menjadikan penilaian kita tidak adil, bahkan conderung menzalimi pihak yang dianggap berseberangan. Betapa sering saya dengarkan jika Muslim Indonesia tidak lagi toleran karena ada sekolompok kecil dari kalangan umat ini yang menyuarakan resistensi terhadap pembangunan gereja di sebuah tempat tertentu.
Sebaliknya juga sering saya dengarkan jika Amerika adalah bangsa yang anti Islam, musuh Islam yang tidak memberikan hak-hak beragama bagi komunitas Muslim. Biasanya tuduhan ini juga karena kasus-kasus yang terjadi di beberapa tempat, khususnya setelah Donald Trump terpilih menjadi presidennya.
Kita tentu wajar khawatir. Wajar jika memiliki perhatian, karena memang komitmen kita bersama untuk menjaga kerukunan, kedamaian dan kebersamaan antar manusia. Keinginan kita untuk tetap melihat kedua bangsa, dan dunia secara keseluruhan, untuk tetap rukun dan damai di tengah keragaman dan perbedaan yang ada.
Akan tetapi satu hal yang perlu diingat bahwa setebal apapun mendung di langit, percayalah jika cahaya mentari di ufuk sana tetap eksis. Sebuah peristiwa, seburuk apapun itu tidak seharusnya menghapus optimisme dan harapan itu.
Atau mungkin dalam bahasa yang sering saya ungkapkan: “di penghujung terowongan panjang itu ada sinar yang terang benderang”.
Kerukunan sesunguhnya dalah darah daging kedua bangsa ini. Amerika dengan konstitusi yang solid, tegas menjamin hak-hak beragama setiap orang, tidak akan goyah dengan sikap dan prilaku sebagian masyarakatnya. Dan yang terpenting pula adalah di tengah tumbuhnya Islamoohobia dan kemarahan sebagian kecil warga, masih terlalu dominan mereka yang justeru memberikan simpati dan membangun soliaritas kepada masyarakat Muslim.
Demikian pula bangsa Indonesia. Hal yang membanggakan adalah bahwa kerukunan antar masyarakat di Indonesia sudah menjadi darah daging dan perjalanan sejarahnya. Jika ada kasus sebaliknya maka itu bukan “tabiat” bangsa ini. Bahkan sekaligus itu adalah pencabulan kepada sejarah indah bangsa ini.
Oleh karenanya, terpilihnya Donald Trump di Amerika dan dengan tanda-tanda kebijakan pemerintahannya yang merugikan komunitas Muslim dan minoritas secara umum harusnya tidak menghilangkan “trust” (keyakinan) terhadap Amerika sebagai negara dan bangsa yang toleran. Selama Konstitusi Amerika sama, yang akan terjadi hanya geliat dan hiruk pikuk politik. Tapi secara fundamental Amerika akan tetap Amerika yang kita kenal sangat toleran.
Demikian pula dengan Indonesia. Kasus-kasus gesekan komunal (ketegangan antar kelompok) di beberapa daerah itu hanya geliat dan hiruk pikuk kepentingan sesaat. Dan tendensi intoleran itu sama sekali tidak dapat dikatakan sebagai wajah bangsa yang sesungguhnya. Melainkan sebuah deviasi dari wajahnya yang sejati.
Saya mengajak kita semua untuk membangun optimisme dan memperkuat harapan ini. Sebab dengan penglihatan optimis dan dengan dada yang penuh harapan kita bisa membangun pikiran dan sikap positif. Jika tidak, akan terjadi negativity yang dalam yang mengantar kepada sikap dan prilaku yang destruktif.
Intinya adalah di tengah badai rintangan itu tersembunyi harapan itu. Dan harapan itu selalu ada.
“Laa taqnatuu min rahmatillah”!
——————————————
Sebuah catatan dari atas udara menuju USA
*Penulis adalah Presiden Nusantara Foundation